(DROP DOWN MENU)

Cara Memahami GABUNGAN DELIK Perbuatan Berlanjut dan Cara MenghItung Ancaman Hukumannya

Pandangan Hakim Perkara Pidana dalam Praktik Peradilan : Perbuatan Berlanjut Vs. NEBIS IN IDEM, Diskursus yang Masih Belum Usai

Question: Dosen pengampu mata kuliah hukum pidana maupun Hukum Acara Pidana kami di kampus (fakultas hukum), tidak pernah mengajarkan ataupun membimbing mahasiswa untuk memahami hal-hal yang tidak jelas dari pasal-pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sebagai contoh tentang “delik perbuatan berlanjut”, yang ancaman hukuman pidananya “ditambah sepertiga”. Ini seperti apa konkret implementasi normanya? Sama sekali dosen-dosen di kampus kami tidak pernah membahas hal-hal yang memerlukan uraian semacam itu, bahkan kami menaruh curiga bahwa dosen kami itu sendiri tidak benar-benar paham dan menguasai ilmu hukum pidana meski telah mengajar sebagai dosen hukum pidana selama belasan atau puluhan tahun lamanya.

Yang dimaksud dengan “delik perbuatan berlanjut” itu sendiri pun kami tidak pernah benar-benar paham maksud dan konkretnya seperti apa, sekalipun kami telah dinyatakan lulus mata kuliah itu, karena kami memang tidak pernah dijelaskan contoh kasus dan penerapannya seperti apa, sehingga kami harus meraba-raba sendiri bagaimana norma pasal KUHP ini diimplementasikan saat kami mulai berpraktik hukum.

Brief Answer: Harus diakui, ketentuan perihal “gabungan delik” terutama “perbuatan berlanjut”, sangat bias pengaturan dalam norma pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia selama ini. Akibatnya, dalam tataran praktik pun terjadi simpang-siur antar hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Sebagai contoh, ancaman hukuman bagi pelaku dengan perbuatan delik yang berlanjut, ialah : “Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”

Ketentuan tersebut, tidak menjelaskan apapun, justru menyisakan banyak ruang pertanyaan yang ambigu sifatnya. Sebagai contoh, terhadap suatu delik yang menjadi dakwaan terhadap sang Terdakwa, ancaman hukuman maksimumnya ialah 6 tahun. Dalam kasus atau perkara yang pertama atas delik tersebut, pihak Terdakwa telah divonis pidana selama 3 tahun saja. Sementara dalam perkara yang kedua atas delik yang sama, Terdakwa didakwa dengan disertai ketentuan perihal “perbuatan berlanjut” (juncto), maka yang dimaksud dengan “maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga” apakah bermakna:

1.) 3 tahun + (3  x 1/3) = 3 tahun + 1 tahun = 4 tahun pidana penjara;

2.) 3 tahun x 1/3 = 1 tahun pidana penjara; ataukah

3.) 6 tahun + 1/3 = 9 tahun sebagai ancaman pidana maksimumnya. Sehingga, mengingat Terdakwa telah divonis 3 tahun penjara, maka ia masih bisa divonis paling banyak : 9 tahun — 3 tahun = 6 tahun penjara.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, terdapat ilustrasi konkret dimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat contoh kasus sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Bulukumba perkara pidana penipuan register Nomor 150/Pid.B/2013/PN.BLK tanggal 18 Juni 2014, dimana terhadap dakwaan Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan Terdakwa mengandung unsur-unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Dakwaan alternatif kesatu tersebut yaitu melanggar Pasal 378 KUHPidana yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Barang siapa;

2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan;

3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;

“Untuk jelasnya Majelis Hakim akan menguraikan unsur-unsur tersebut sebagai berikut, sekaligus mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan alibi atau segala sesuatu yang termuat dalam nota pembelaan Terdakwa:

“Menimbang, ... sehingga maksud dari si pelaku itu tidaklah boleh ditafsirkan lain kecuali dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, sebagai unsur sengaja maka si pelaku menyadari / menghendaki suatu keuntungan untuk dirinya sendiri / orang lain, ia menyadari pula akan ketidak berhaknya atas suatu keuntungan tersebut.

“Bahwa Yang dimaksud dengan kesengajaan menurut memori penjelasan (Memorie van Toelichting) adalah: “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya artinya seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus mengendaki serta menginsyafi tindakan tersebut dan atau akibatnya, dengan perkataan lain kesengajaan ditujukan terhadap suatu tindakan.

“Adapun yang dimaksud: Nama palsu adalah nama yang bukan nama pelaku sendiri; Sedangkan keadaan palsu adalah menyebutkan dirinya berada dalam suatu keadaan yang tidak benar yang mengakibatkan korban percaya kepadanya. Dan karena percaya, lalu korban memberikan barang atau membuat hutang atau menghapuskan piutang; Dikatakan dengan akal dan tipu muslihat adalah suatu perbuatan yang bukan berupa kata-kata yang membohongi, sehingga seseorang yang berpikiran normal dapat tertipu karenanya; Adapun pengertian karangan perkataan bohong adalah berupa adanya beberapa kata-kata yang tidak benar yang tersusun sedemikian rupa seakan-akan benar;

“Menimbang, bahwa apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan fakta yang terungkap di depan persidangan keterangan para saksi, serta barang bukti yang didukung oleh keterangan Terdakwa. Terungkap bahwa benar pada bulan Maret tahun 2009, saksi Sudirman Bin H.Caring dan saksi H. Harmin, S. Bin Sanre mengetahui adanya penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tanpa seleksi atau tanpa tes berdasarkan pemberitahuan dari Terdakwa yang datang ke rumah saksi H. Harmin, S. Bin Sanre, yang kemudian juga diketahui oleh saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan Basri Bin H. Zainuddin, kemudian karena percaya kepada Terdakwa, maka para saksi tersebut, termasuk saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Basri Bin H. Zainuddin kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa dalam beberapa tahapan.

“Bahwa uang yang telah diterima dari para saksi dikirimkan Terdakwa kepada pihak yang ada di Jakarta yaitu I Nyoman Arse, SH.,MH., yang mengaku sebagai Direktur Pengadaan CPNS Badan Kepegawaian Negara Pusat Jakarta, melalui nomor rekening atas nama Winarti, Bambang. SR dan Sulastri yang walaupun sebelumnya Terdakwa tidak pernah mengenal I Nyoman Arse ataupun Winarti, Bambang. SR dan Sulastri. Bahwa sampai pada saat ini ternyata saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan Basri Bin H zainuddin tidak menjadi Pegawai Negeri Sipil atau CPNS sebagaimana telah dijanjikan oleh Terdakwa dan Terdakwa tidak pernah mengembalikan uang para saksi tersebut, walaupun sebelumnya pernah berjanji untuk mengembalikan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut, menurut Majelis Hakim, Terdakwa telah memberikan rangkaian kata-kata, gambaran khususnya kepada saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan Basri Bin H zainuddin bahwa Terdakwa mampu meluluskan para saksi tersebut menjadi seorang pegawai negeri Sipil atau CPNS hanya dengan membayar sejumlah uang.

“Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Majelis Hakim dengan berpedoman atau berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEPEGAWAIAN Khususnya yang termuat dalam BAB II. Tentang PENERIMAAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI. Maka telah secara jelas tersurat bahwa dalam penerimaan dan atau pengadaan pegawai negeri sipil, terdapat proses seleksi yang ketat dan tidak semata-mata berdasarkan penyerahan sejumlah uang. Sebagaimana telah ditegaskan pula oleh saksi TAUFIK RAMLI, S.STP.,MM BIN H. RAMLI sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan PNS pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kab. Bulukumba;

“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Terdakwa hanyalah memberikan gambaran-gambaran yang keliru dan bertentangan dengan kenyataan yang membuat orang lain (dalam hal ini para saksi korban dan saksi yang lainnya) menerima kenyataan tersebut. Padahal gambaran-gambaran itu belum terbukti benar adanya (hanya merupakan rangkaian kebohongan). Hal ini sesuai pula dengan HR 8 Maret 1926, menyatakan: “terdapat suatu rangkaian kebohongan, jika antara berbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedemikan rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu kebenaran”;

“Bahwa tindakan terdakwa tersebut menurut Majelis Hakim dilakukan secara melawan hukum atau secara wederrechtelijk yang menurut Simons (Lihat buku Satochid Kartanegara Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Satu) menerangkan melawan hukum adalah “perbuatan yang bertentangan dengan hukum pada umumnya baik tertulis maupun tidak tertulis”. Begitupula Van Hammel, T.J Noyon dan Hoge Raad berarti bertentangan dengan hak pribadi orang lain atau perbuatan tanpa hak dan wewenang, karena Terdakwa dalam keterangannya sendiri menyatakan sebagai salah satu kasubag di Dinas Pertanian, Terdakwa tidak mempunyai tugas atau kewenangan berkaitan dengan penerimaan CPNS, tetapi seolah-olah Terdakwa telah yakin akan kebenarannya padahal sebelumnya Terdakwa tidak pernah mengenal ataupun melakukan cross cek terhadap kebenaran informasi yang menurut Terdakwa bersumber dari I Nyoman Arse ataupun Winarti, Bambang. SR dan atau Sulastri. Yang menurut Terdakwa memiliki kewenangan meluluskan seseorang menjadi pegawai negeri sipil dan dalam kenyataannya mereka yang disebutkan oleh Terdakwa tidak memiliki kewenangan tersebut.

“Fakta hukum tersebut menurut Majelis Hakim, sekali lagi hanyalah bersifaat rekaan ataupun rangkaian kebohongan Terdakwa agar para saksi yakin dan menyerahkan sejumlah uang kepada Terdakwa.

“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis hakim berpendapat bahwa unsur ‘Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan’ telah terpenuhi;

Ad. 3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;

“Bahwa pengertian menggerakkan di sini adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan berupa nama palsu atau keadaan palsu, tipu muslihat, atau karangan perkataan bohong, sehingga seseorang terpengaruh dan menuruti berbuat sesuatu yaitu menyerahkan barang, membuat hutang atau menghapuskan piutang;

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta fakta yang terungkap di sidang sebagaimana telah terurai pada pembahasan unsur ke-1 dan ke-2, yang menurut Majelis Hakim tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan unsur ini, maka telah ternyata bahwa akibat perkataan-perkataan (rangkaian) kebohongan yang telah terbukti pada pembuktian unsur kedua tersebut di atas, sehingga menggerakan saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Basri Bin H. Zainuddin untuk menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa dalam beberapa tahapan dengan total yang telah diserahkan sejumlah Rp.160.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah).

“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ke-3 ini pun, menurut Majelis Hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan;

“Menimbang, bahwa oleh karena unsur–unsur dari Dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi, maka dakwaan Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 378 KUHP;

“Menimbang, bahwa dari dakwaan Pasal 378 KUHP yang telah dinyatakan terbukti tersebut diatas, Majelis Hakim selanjutnya akan mempertimbangkan tanggapan terdakwa terkait pelanggaran terhadap Pasal 76 KUHP tentang larangan pengajuan perkara kedua kalinya dalam perbuatan / perkara yang telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dengan alasan yang sama, subyek dan obyek yang sama dan pengadilan yang sama (Nebis In Idem), hal ini juga diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UU N0.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM), bahwa para saksi korban dalam dakwaan perkara ini adalah bagian dari para saksi korban yang telah melaporkan kejadian yang sama kepada penyidik Kepolisian dalam kasus pengangkatan CPNS tahun 2009 dimana perkaranya telah berkekuatan hukum tetap, bahwa prinsip yang diterapkan dalam hukum pidana yang diutamakan adalah perbuatan, bukan dilihat orang per orang, bahwa fakta-fakta dan alat bukti yang dijadikan dasar tuntutan jaksa telah dipertanggungjawabkan dan diputus oleh pengadilan yang sama pada tahun 2010;

“Menimbang, bahwa Pasal 76 KUHP menyebutkan bahwa:

(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;

2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

“Menimbang, bahwa atas alasan dari terdakwa dan uraian Pasal 76 KUHP tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa perlu diuraikan terlebih dahulu perbandingan antara waktu dan tempat serta cara peristiwa pidana yang didakwakan tersebut dilakukan oleh terdakwa dalam perkara pertama yang telah berkekuatan hukum tetap yang hukumannya telah dijalani oleh terdakwa saat ini, dengan peristiwa pidana yang didakwakan dalam perkara kedua ini;

“Menimbang, bahwa dalam perkara pidana yang pertama telah diperoleh fakta-fakta sebagaimana dikutip dalam putusan tingkat pertama dalam registrasi perkara No. 188/PID.B/2009/PN.BLK sebagai berikut:

- Bahwa, benar pada tahun 2009 ini, Saksi Erniwati Binti Muh. Yunus mengetahui ada penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) berdasarkan pemberitahuan dari Terdakwa yang datang ke rumah Saksi Erniwati Binti Muh. Yunus di Jalan Labu No. 01 Kec. Ujung Bulu Kab. Bulukumba, yang kemudian saksi sering dibujuk oleh Terdakwa untuk menyerahkan sejumlah uang sejumlah Rp.25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) untuk dapat diangkat menjadi CPNS;

- Bahwa, benar kemudian karena percaya kepada Terdakwa, maka saksi menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa dalam beberapa tahapan dengan total yang telah diserahkan sejumlah Rp.25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah)

- Bahwa, benar kemudian Terdakwa memberitahukan kepada saksi Erniwati Binti Muh. Yunus. Saksi Erniwati Binti Muh. Yunus telah lulus dan Surat Keputusannya (SK) dipegang oleh Terdakwa dan kemudian Terdakwa menyuruh saksi Erniwati Binti Muh. Yunus untuk membayar lunas kepada Terdakwa dan kemudian saksi Erniwati Binti Muh. Yunus menyatakan ingin melapor ke Bupati atas kelulusannya, tetapi Terdakwa melarang saksi untuk melapor;

- Bahwa, benar Terdakwa pernah datang menemui saksi Dra Hj. Andi Nurlaela Binti H. A. Muh. Ali dan menyatakan ada telpon dari Jakarta bahwa ada penambahan CPNS pada Bulan April 2009 dan dilakukan tanpa melalui tes dan kemudian Terdakwa menyatakan kepada saksi agar membayar dulu Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah);

- Bahwa, benar kemudian saksi Dra Hj. Andi Nurlaela Binti H. A. Muh. Ali memberikan uang kepada Terdakwa sebanyak Tiga kali pertama Rp.5.000.000,-, ke dua Rp.5.000.000 dan ketiga Rp.20.000.000,-

- Bahwa, benar yang meyakinkan saksi Dra Hj. Andi Nurlaela Binti H. A. Muh. Ali, karena setiap ke rumah saksi, terdakwa selalu melakukan telepon dengan orang yang katanya ada di Jakarta dan mampu meluluskan saksi;

- Bahwa, benar saksi Rosmala Dewi Binti Nurdin Sila telah menyerahkan sejumlah uang Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) kepada Terdakwa karena dijanjikan sebagai CPNS dan Terdakwa telah memperlihatkan kepada saksi NRPT Kelurahan Tanah Kongkong, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba untuk menawarkan hal tersebut dan saat itu pula terdakwa bertemu dengan saksi Sudirman Bin H.Caring dirumah saksi H. Harmin, S. Bin Sanre lalu terdakwa juga menawarkan kepada saksi Sudirman Bin H.Caring untuk menjadi CPNS tanpa melalui seleksi atau tanpa tes dengan syarat saksi harus menyiapkan uang sejumlah Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dimana uang tersebut akan digunakan untuk pengurusan menjadi CPNS.

- Bahwa terdakwa meminta agar informasi tersebut juga bisa disampaikan kepada orang lain atau keluarga saksi Sudirman Bin H.Caring, sampai kemudian saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Basri Bin H. Zainuddin juga mengetahui penawaran tersebut;

- Bahwa terdakwa selanjutnya meminta pembayaran pertama sebanyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sebagai uang pengurusan awal, dan nanti setelah SK CPNS diterima oleh Saksi baru sisa pembayarannya bisa dilakukan, selanjutnya terdakwa pernah meminta uang untuk pengurusan ke Jakarta dan juga terdakwa pernah meminta uang kembali untuk pengambilan SK CPNS di Jakarta.

- Bahwa sesuai dengan bukti surat berupa kwitansi yang terlampir dalam berkas perkara, pada bulan Maret 2009, terdakwa telah menerima sejumlah uang dari saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring dan saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Basri Bin H. Zainuddin;

- Bahwa sesuai dengan bukti surat berupa kwitansi yang terlampir dalam berkas perkara, pada bulan April 2009, terdakwa kembali menerima sejumlah uang dari saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan juga titipan uang yang diserahkan melalui saksi H. Harmin, S. Bin Sanre;

- Bahwa uang yang telah terdakwa terima tersebut dengan nilai total sejumlah Rp. 160.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah) tersebut telah dikirim ke rekening atas nama WINARTI, BAMBANG SR dan SULASTRI;

- Bahwa pada saat terdakwa di Jakarta dan bertemu dengan I NYOMAN ARSE SH,MH., terdakwa baru mengetahui bahwa uang yang telah terdakwa kirimkan tidak diterima oleh I NYOMAN ARSE SH.,MH, dan daftar nama yang terdakwa kirimkan juga tidak ada dalam daftar nama-nama CPNS yang diurus oleh terdakwa sehingga SK CPNS dari nama yang terdakwa daftarkan tidak keluar;

- Bahwa para saksi telah meminta agar uangnya dikembalikan namun terdakwa belum dapat menyanggupi sehingga pada 26 Juli 2012, saksi saksi korban Jumase Bin H.Caring, bersama saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Ayah kandungnya yaitu Basri Bin H. Zainuddin membuat kesepakatan tertulis dengan terdakwa yang isinya adalah bahwa terdakwa HASAN BASRI, S.Sos., Bin MUH. SULTAN sanggup untuk mengembalikan uang milik saksi pada hari Senin tanggal 03 September 2012, tetapi sampai sekarang uang milik para saksi tersebut belum juga dikembalikan oleh terdakwa HASAN BASRI, S.Sos., Bin MUH. SULTAN;

“Menimbang, bahwa dari dua fakta peristiwa pidana tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa telah diperoleh bukti adanya dua peristiwa pidana sejenis yaitu Penipuan yang masing-masing berkaitan dengan materi yang sama yaitu mengenai penerimaan CPNS tanpa seleksi atau tanpa tes, dengan pelaku yang sama yaitu terdakwa dan dalam kurun waktu yang sama yaitu pada bulan Maret dan April 2009, namun dengan tempat yang berbeda dan dengan korban yang berbeda pula;

“Menimbang, bahwa terhadap keadaan seperti tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam KUHP telah diatur suatu kaidah hukum yang mengatur jika terjadi keadaan sebagaimana tersebut diatas yang merupakan suatu bentuk perbarengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “Jika diantara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”;

“Menimbang, bahwa berdasarkan kaidah hukum tersebut, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pada pokoknya, Terdakwa dalam perkara ini kembali terbukti melakukan perbuatan yang juga merupakan kejahatan yang ternyata masih mempunyai hubungan dengan perbuatan kejahatan sebelumnya yang telah dinyatakan terbukti dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, bukan merupakan pengulangan atau pelanggaran atas azas hukum nebis in idem;

“Menimbang, bahwa selain pertimbangan mengenai kaidah hukum tersebut diatas, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa dengan memperhatikan kepentingan para saksi korban terhadap harta bendanya maka dipandang perlu untuk memberikan ketegasan dan kepastian hukum bagi para saksi korban mengenai telah adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan hak secara keperdataan terhadap harta benda para saksi korban tersebut;

“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pada pokoknya eksepsi yang diajukan oleh terdakwa tidak terbukti dan tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, karena itu materi eksepsi terdakwa tersebut patut ditolak untuk seluruhnya;

“Menimbang, bahwa sebelum sampai pada kesimpulan dan pendapat tersebut diatas, dalam Musyawarah Majelis Hakim terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) mengenai penafsiran azas hukum Nebis in idem dan hak keperdataan para saksi korban. Bahwa Hakim Anggota II, BAMBANG SUPRIYONO, SH., berpendapat bahwa rumusan Pasal 76 ayat (1) KUHP yang dikenal dalam istilah azas hukum nebis in idem, mengandung syarat-syarat yang pada pokoknya secara kumulatif telah terpenuhi untuk diterapkan dalam perkara ini berdasarkan uraian sebagai berikut:

1. Bahwa perbuatan yang didakwakan kedua kalinya tersebut, sama dengan peristiwa pidana yang sudah pernah didakwakan yaitu pidana yang sejenis mengenai penipuan;

2. Bahwa pelakunya sama yaitu terdakwa dan atas perbuatan / peristiwa pidana yang sama dan sejenis yaitu mengenai penipuan;

3. Bahwa korban yang diajukan sama, atau ada tambahan yang belum pernah diajukan dalam perkara tetapi tidak seharusnya menjadi dasar untuk dua kali penuntutan atas hal yang sama atau sudah bersifat pengulangan;

4. Bahwa obyeknya sama atau satu yaitu mengenai “penerimaan uang dalam rangka penerimaan cpns tanpa seleksi atau tanpa tes”;

5. Bahwa terhadap peristiwa pidana tersebut telah ada putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap;

“Bahwa uraian tersebut diatas, sejalan dengan kaidah hukum yang terkandung dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No 2644 K/Pid.Sus/ 2010 tanggal 27 Januari 2011, yang menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid/2010/PT.Smg. tanggal 20 Agustus 2010 mengenai terpenuhinya pelanggaran atas azas Nebis In Idem dalam perkara tersebut;

“Menimbang, bahwa selain pertimbangan mengenai azas hukum tersebut diatas, Hakim Anggota II juga berpendapat bahwa terhadap kepentingan para saksi korban terhadap harta bendanya maka cukup dengan telah adanya pengakuan dari terdakwa, maka dapat ditafsirkan telah adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa yang selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan hak secara keperdataan terhadap harta benda para saksi korban tersebut;

“Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut diatas, Hakim Anggota II berpendapat bahwa sepatutnya dalam perkara ini diputuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Menyatakan penuntutan dan pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa HASAN BASRI S.Sos BIN MUH. SULTAN, gugur demi hukum karena nebis in idem;

2. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

3. Memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada yang berhak sebagaimana asal penyitaannya;

4. Membebankan biaya perkara kepada negara;

“Menimbang, bahwa meskipun Majelis Hakim telah berupaya secara bersungguh-sungguh untuk mencapai permufakatan dalam perkara ini, namun hal tersebut tidak tercapai, oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka dengan memperhatikan komposisi suara terbanyak dalam Majelis Hakim maka terhadap pokok perkara dalam perkara ini ditetapkan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penipuan sebagai perbuatan berlanjut;

“Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah menurut hukum dan meyakinkan, maka kepadanya harus dinyatakan bersalah dan karenanya itu sudah sepantasnya pula dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya, karena sepanjang pemeriksaan di persidangan pada waktu terdakwa melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pemaaf dan pembenar yang dapat membebaskan dan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum atas perbuatan dan kesalahannya.

“Menimbang, bahwa Pidana yang dijatuhkan Majelis Hakim bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat diantaranya yaitu adanya pengaruh pencegahan (deterrent effect), pengaruh moral atau bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral or social-pedagogical influence of punishment) dan pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum;

“Menimbang, bahwa dengan mengacu kepada hal-hal tersebut dan berdasarkan pasal 193 ayat 1 KUHAP terhadap diri terdakwa harus dijatuhi pidana dan terhadap lamanya pemidanaan, Majelis Hakim tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan oleh karena pada pokoknya tindak pidana dalam perkara ini merupakan perbuatan berlanjut dari tindak pidana sebelumnya, yang oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap telah dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan oleh karena itu pemidanaan dalam perkara ini lebih bersifat sebagai pemberatan dari hukuman yang pernah dijatuhkan kepada terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) maka patut dipertimbangan penjatuhan pidana berupa pidana penjara yang bersifat penambahan sejumlah sepertiga dari putusan terdahulu;

“Menimbang, bahwa sebelum Majelis hakim menjatuhkan pidana, maka perlu pula dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan bagi diri Terdakwa sebagaimana diuraikan di bawah ini:

Hal-hal yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa dapat meresahkan masyarakat karena dalam bertindak mengatas-namakan institusi pemerintahan;

- Perbuatan Terdakwa merugikan secara ekonomi Para Saksi korban, walaupun sebelumnya pernah berjanji untuk mengembalikan kerugian yang dialami para saksi tersebut;

Hal-hal yang meringankan:

- Terdakwa tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah;

M E N G A D I L I :

1 Menyatakan Terdakwa HASAN BASRI. S. Sos BIN MUHAMMAD SULTAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENIPUAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT”;

2 Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HASAN BASRI. S. Sos BIN MUHAMMAD SULTAN oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;

3 Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, diperhitungkan dan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.