(DROP DOWN MENU)

Hanya BPN yang Otoritatif Menentukan Terjadi atau Tidaknya Penyerobotan Tanah Terkait Batas-Batas Sertifikat Hak Atas Tanah, Bukan Aparatur Penegak Hukum

Ketika Otoritas yang Berwenang Menentukan justru Bersikap Ambigu dan Rancu, Itulah JUSTICE DENIED

Aparatur penegak hukum, kewenangannya ialah sekadar menyelidiki dan menyidik, ada atau tidaknya indikasi unsur tindak pidana korupsi (Tipikor) ataupun kasus-kasus terkait sengketa kepemilikan tanah seperti kasus penyerobotan tanah ataupun pengrusakan lahan perkebunan (konflik horizontal antara warga versus perusahaan / pelaku usaha perkebunan). Namun, aparatur penegak hukum tidak berwenang menentukan ada atau tidaknya unsur korupsi ataupun penyerobotan, mengingat otoritas yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya “kerugian negara”, ialah lembaga Badan Pemeriksa Keuangan, BPKP, Inspektorat Jenderal, maupun Akuntan Publik.

Sebagai contoh, aparatur penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, maupun Kejaksaan, menemukan indikasi adanya “kerugian negara”. Apa yang kemudian dilakukan oleh aparatur penegak hukum tersebut, langsung menetapkan seseorang sebagai tersangka, menangkap, dan menyidangkannya? Tidak, tidaklah seperti itu prosedur formal aparatur penegak hukum, mengingat aparatur penegak hukum tidak diberikan kewenangan atributif oleh konstitusi RI maupun oleh peraturan perundang-undangan untuk menentukan ada atau tidaknya “kerugian negara” sebagai penentu terjadi atau tidaknya delik Tipikor. Aparatur penegak hukum akan berkoordinasi dengan lembaga lain yang otoritatif menentukannya—dalam hal ini ialah lembaga-lembaga eksternal yang independen semacam BPK, BPKP, dsb.

Jika BPK dalam laporannya menyebutkan ada “kerugian negara”, maka proses hukum berlanjut dengan meningkatkan status seorang saksi ataupun tersangka menjadi seorang Terdakwa (tahap 2), sebelum kemudian disidangkan ke hadapan Pengadilan Tipikor sebagai ajang pembuktiannya. Apa jadinya, bila BPK, dalam laporannya, justru bersikap rancu dan ambigu, bahkan memberikan jawaban sebagai berikut : “Mohon maaf, kami tidak tahu, apakah ada kerugian negara atau tidaknya dalam kasus tersebut, sekalipun kami telah dimintakan untuk melakukan audit terhadapnya.” BPK, harus bersikap tegas : “ADA” atau “TIDAK ADA” suatu “kerugian negara” terhadap kasus yang terindikasi terjadi Tipikor.

Apa falsafah dibalik kewajiban mandatoris bagi BPK, BPKP, ataupun lembaga-lembaga serupa lainnya, untuk membuat pernyataan tegas demikian? Yakni demi kepastian hukum. Namun, alasan utamanya, ialah mengingat lembaga tersebut-lah yang diberi kewenangan monopolistik untuk menentukan ada atau tidaknya unsur Tipikor. Karena diberikan kewenangan monopolistik sebagai penentu, maka ia harus memberikan suatu pernyataan tegas yang bersifat menentukan. Ini sama seperti kewenangan monopolistik hakim di pengadilan (Lembaga Yudikatif) sebagai pemutus suatu perkara, maka berlaku asas : hakim dilarang untuk menolak memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya, dengan memakai alasan aturan hukumnya tidak jelas atau tidak ada aturan hukumnya. Hakim harus membuat keputusan dan menjatuhkan putusan, titik.

Untuk kasus-kasus seperti Tipikor, sudah selesai diskursus dan wacananya. Namun untuk kasus-kasus sengketa agraria yang mana sekalipun merupakan hal klise yang terus berlangsung dan terjadi sejak puluhan tahun lampau dan masih terus berlangsung hingga saat kini—seolah dipelihara dan dibiarkan oleh negara yang “absent” alih-alih “present” hadir ditengah-tengah masyarakat—telah ternyata otoritas yang paling otoritatif menentukan ada atau tidaknya unsur penyerobotan tanah ataupun sengketa agraria lainnya, yakni BPN (Badan Pertanahan Nasional), selama ini kerap abai dan lalai menjalankan mandat tugas dan fungsinya. Sebagai contoh, ketika Anda bersengketa lahan dengan pihak lain, maka ketika Anda membuat aduan / laporan polisi, pihak polisi akan menyuruh Anda untuk terlebih dahulu bersengketa secara perdata ke Pengadilan Negeri untuk menentukan siapa pemilik sah sebenarnya dibalik “sengketa kepemilikan” ini. Bila tidak, laporan Anda akan disebut sebagai “prematur” oleh Mahkamah Agung.

Pertanyaan terbesar yang hendak penulis ajukan ialah : apakah BPN ataukah Pengadilan Negeri, yang merupakan otoritas penentu batas-batas bidang tanah? Sebagaimana kita ketahui, BPN merupakan Lembaga Eksekutif yang memonopoli kewenangan untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Maka, pihak BPN-lah, lembaga yang paling otoritatif untuk menentukan dimana titik batas-batas bidang tanah, semisal apakah pihak pertama telah mendirikan dan mengusai lahan melampaui batas tanah miliknya, apakah TKP (tempat kejadian perkara dalam perkara pidana) masuk dalam sertifikat Hak Guna Usaha (SHGB) milik pihak Pelapor ataukah justru berada diluar SHGU? Dalam hal ini, BPN memonopoli dua hal : lembaga penerbit sertifikat hak atas tanah dan juga sebagai penentu batas-batas bidang tanah dalam sertifikat hak atas tanah (pengukuran dan pemetaan titik koordinat)—sebagai satu-kesatuan “paket” yang tidak terpisahkan.

Dalam sertifikat hak atas tanah, terdapat dua komponen yang disatukan menjadi satu kesatuan, yakni “data yuridis” dan “data fisik”. Salah satu diantaranya, bila ternyata mengandung “cacat hukum”, maka sertifikat hak atas tanah pun tidak lagi dapat disebut sebagai valid, alias terjadi “cacat formal” dalam proses penerbitannya, sehingga berpotensi besar untuk digugat pembatalan penerbitannya—sekalipun regulasi agraria di Indonesia mengatur bahwa umur sertifikat hak atas tanah yang telah mencapai usia 5 (lima) tahun atau lebih menjadi bersifat kuat dan mutlak (law in abstracto), namun realitanya pada berbagai “best practice” peradilan dimana sertifikat hak atas tanah telah ternyata tetap dapat dibatalkan oleh pengadilan sekalipun telah berusia lebih dari 5 (lima) tahun (law in concreto).

Karenanya, bila suatu pihak melaporkan pihak lain kepada pihak berwajib atas kasus-kasus terkait sengketa lahan, dimana salah satu pihak adalah pemegang sertifikat hak atas tanah terbitan BPN, maka mengapa pihak penyidik di Kepolisian maupun hakim di pengadilan justru mengarahkan sang Pelapor untuk bersengketa secara perdata terlebih dahulu ke pengadilan, sekalipun otoritas penentunya ialah BPN yang berwenang melakukan pengukuran dan mengetahui titik koordinat peta bidang tanah dalam sertifikat hak atas tanah? Terlebih membuat rancu, ketika pihak penyidik Kepolisian merasa tidak perlu terlebih dahulu diputus oleh Pengadilan Negeri perihal “sengketa kepemilikan”, lalu seketika menetapkan sebagai tersangka dan didakwa sebagai pelaku tindak pidana “penyerobotan lahan”, tanpa melibatkan BPN sebagai lembaga otoritatif penentu, maka itu artinya Kepolisian telah melakukan “ultra vires” alias melampaui batas kewenangannya dan melakukan fetakompli terhadap kewenangan BPN.

Ironisnya, ketika pihak Kepolisian mendapati pihak tersangka yang cukup cerdas, menolak ditetapkan sebagai tersangka dengan argumentasi bahwa pihak Pelapor maupun penyidik Kepolisian haruslah terlebih dahulu memastikan batas-batas bidang tanah, semisal SHGU milik Pelapor, dimana itu adalah kewenangan otoritatif mutlak dari BPN selaku lembaga penerbit sertifikat hak atas tanah, bilamana pihak Ahli dari BPN menyatakan bahwa koordinat pada lahan TKP adalah masuk dalam SHGU milik Pelapor, barulah terbukti benar telah melakukan apa yang dituduhkan ataupun disangkakan terhadap sang tersangka. Bila BPN justru menyatakan sebaliknya, yakni koordinat lahan TKP adalah berada diluar SHGU, maka terbukti bahwa apa yang disangkakan terhadap pihak tersangka ialah sangkaan yang tidak bertanggung-jawab dan tidak berdasar.

Celakanya, dan ini menjadi kabar buruk bagi segenap rakyat di Indonesia, pihak BPN kerap tidak bersikap profesional, dalam artian tidak jarang bersikap tidak kompeten dibidang pertanahan, dengan mengabaikan keluhan warga maupun publik yang bersengketa lahan dengan pihak pemegang sertifikat hak atas tanah terbitan BPN, bahkan tidak pernah hadir bagi rakyat (alias “absent” alih-alih “present”), membiarkan para warganya berkonflik seorang diri dengan pihak-pihak pemegang sertifikat hak atas tanah, sekalipun masing-masing pihak akan mengklaim batas-batas bidang tanah versinya sendiri. Seakan, warga dbiarkan mencari jalan keluarnya sendiri, dimana BPN bersikap “hit and run” terhadap berbagai sertifikat hak atas tanah yang telah pernah diterbitkan olehnya.

Dalam kasus-kasus sengketa agraria yang melibat sertifikat hak atas tanah yang luas bidang tanahnya, semisal SHGU untuk perusahaan budi-daya perkebunan yang mencapai ribuan hektar, kendala paling klasik ialah perihal kepastian dan kejelasan batas-batas bidang tanah dalam SHGU, dimana batas-batas terluar bidang tanah itulah yang kerap menjadi bibit-bibit sengketa pertanahan yang tidak jarang melahirkan tregedi konflik “berdarah-darah”. Dimana tidak jarang terjadi, pemegang sertifikat hak atas tanah memasang patok tanda batas bidang tanah-nya sendiri secara sepihak dan “sesuka hati”. Hal demikian juga terjadi dalam fenomena tanda batas antara kedua negara yang saling berbatasan seperti terjadi di Pulau Kalimantan, dimana tanda batasnya kerap bergeser dari posisi semula. Namun dimanakah, pejabat-pejabat pada BPN yang berwenang untuk mengukur dan memastikan tanda batas kepemilikan pemegang sertifikat hak atas tanah? BPN ibarat “ayam yang mengerami telurnya di sarang”, yakni berliang di atas “menara gading” yang sangat berjarak dengan rakyatnya sendiri—tidak dekat di hati dan jauh dari jangkauan rakyat, dimana BPN hanya memandang warga sebagai objek “sapi perahan”. Apa yang dapat kita harapkan, dari lembaga yang “oknum berjemaah”-nya demikian korup mentalitasnya dan lemah integritasnya?

BPN juga kerap bersikap parsial, dalam artian mudah didekati oleh mereka yang sanggup menuruti permintaan pejabat-pejabat BPN (“meminta dilayani” alih-alih “melayani”, pamer arogansi monopolistik kewenangan terkait pertanahan), karenanya sengketa agraria selalu “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, tidak pernah terjadi sebaliknya. Sebagai contoh, perusahaan kebun sawit berkonflik dengan warga dari kalangan jelata, maka pihak BPN sekalipun diundang untuk mengukur, membaca titik koordinat, dan menunjuk batas-batas bidang tanah SHGU milik perusahaan sawit, maka akan cenderung memihak pihak yang bisa “membeli” sang pejabat / petugas BPN (dan tidak pernah murah harga yang dimintakan oleh pihak BPN alias “pungutan liar”).

Rakyat jelata, jangan pernah berharap akan dilayani oleh petugas pengukuran BPN. Akibatnya, tidak pernah ada kasus dimana perusahaan kebun sawit dipidana karena melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang tentang Perkebunan, yang ada justru selalu sebaliknya, warga dikriminalisasi oleh perusahaan kebun sawit pemilik SHGU, sekalipun bisa jadi titik koordinat TKP yang dipersengketakan adalah berada di luar HGU. Yang unik, sekaligus membuat kita merasa “terenyuh” ialah, pihak Ahli (pegawai BPN dibidang pengukuran) yang diutus oleh BPN justru tidak bisa menentukan, apakah titik koordinat TKP adalah didalam ataukah diluar HGU milik pihak perusahaan kebun sawit. Mau dibawa kemanakah, negeri kita ini?

Bila itu yang terjadi, maka betapa menyerupai “deadlock”, perkara menjadi mengambang dan menggantung, tanpa kejelasan dan tanpa kepastian. Sekali lagi, aparatur penegak hukum tidak berwenang menentukan apakah terjadi penyerobotan tanah atau tidaknya, itu kewenangan monopolistik BPN. Kabar buruknya, apa yang penulis uraikan diatas, adalah kisah nyata yang konkrit benar-benar terjadi di lapangan, BPN selaku lembaga otoritatif “penentu” dibidang pertanahan, justru tidak dapat memberikan kepastian ataupun kejelasan terkait titik koordinat TKP, apakah masuk ataukah diluar HGU milik pihak perusahaan kebun sawit yang menjadi pihak Pelapor.

Di negeri bernama Indonesia ini, tidak ada perkara yang lebih kompleks dan menyerupai benang-kusut berlarut-larut, daripada sengketa agraria, mengingat regulasinya “tidak cerdas”, tidak efektif, disamping kultur pejabat-pejabat BPN yang tidak benar-benar mengabdi bagi negara, justru bermental “pemburu dan pencari ‘rente’”. Uniknya, sekalipun sengketa agraria telah menjelma fenomena klise, yang selalu berulang secara masif sepanjang tahunnya, namun regulasi dan lembaga yang “toxic” semacam BPN tetap dibiarkan seolah dipelihara oleh negara, sehingga negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat.

Pada muaranya, korban-korban akan terus berjatuhan, sementara pihak pejabat-pejabat BPN asyik sibuk berliang, bertelur, dan berkubang dalam “menara gading” dunianya sendiri. “Mohon maaf, kami tidak tahu apakah koordinat pada TKP adalah masuk atau tidaknya dalam HGU milik pihak Pelapor, sekalipun lembaga kami yang menerbitkan SHGU milik pihak Pelapor dan memonopolisir kewenangan pengukuran bidang tanah.” Apa jadinya, bila BPK maupun BPKP meniru sikap tidak bertanggung-jawab pihak BPN? “Mohon maaf, kami tidak tahu, meskipun itu kewenangan monopolistik lembaga kami!”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.