BPN Kerap Abai dan Lalai, maka Terbitlah Berbagai Konflik Agraria, Negara Tidak Pernah Benar-Benar Hadir di Tengah Masyarakat
Sertifikat Hak Atas Tanah Bersifat Kuat sebagai Bukti
Kepemilikan, namun Tidak dalam Hal Kepastian dan Kejelasan atau Akuntabiltias
Batas-Batas Bidang Tanahnya
Question: Mahkamah Konstitusi pernah membuat putusan
terhadap permohonan uji materiil warga terhadap Undang-Undang Perkebunan, bahwa
ketentuan pidana berisi ancaman hukuman juga diberlakukan bukan hanya terhadap
warga yang berkonflik dengan pengusaha (pelaku usaha perkebunan), namun juga
bisa diberlakukan terhadap perusahaan budi daya sawit, sebagai contoh. Namun mengapa
implementasinya, sama sekali tidak tampak di lapangan?
Pihak perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, selalu mendalilkan diri mereka menguasai lahan atas dasar bukti kepemilikan berupa sertifikat HGU (Hak Guna Usaha), tapi batas-batasnya tidak jelas alias ambigu dan rancu (saling klaim satu sama lainnya), perusahaan pemegang SHGU yang mengklaim dan menunjuk sendiri batas-batas tanahnya, jelas itu ada “konflik kepentingan”. Tidak ada kejelasan ataupun kepastian hukum batas-batas tanah yang dimiliki oleh perusahaan kebun sawit pemegang SHGU, akibatnya mereka seenaknya secara sepihak mengkriminalisasi dengan mempidana warga yang berkonflik dengan mereka, yang ironisnya aparatur penegak hukum justru benar-benar mempidana dan memenjara warga yang berkonflik dengan perusahaan budi daya komoditi perkebunan.
Brief Answer: Itulah yang disebut sebagai kendala sosiologi
serta kendala faktor politis, sekalipun secara yuridis telah ideal suatu norma
hukum yang ada. Rata-rata serta mayoritas sengketa agraria serta pertanahan di Indonesia,
terutama ketika salah satu pihaknya ialah korporasi bermodal kuat, yakni berupa
pola : salah satu pihak mengklaim sebagai pemilik lahan, dengan
mengatas-namakan sertifikat hak atas tanah berupa Sertifikat Hak Milik, Sertifikat
Hak Guna Bangunan, maupun Sertifikat Hak Guna Usaha dan Sertifikat Hak Pakai. Kendala
utamanya, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) kerap tidak pernah benar-benar hadir
di tengah masyarakat. BPN seolah hanya hidup berliang di atas “menara gading”,
dan begitu berjarak dengan rakyat serta “tidak merakyat”.
Pokok permasalahannya, bila penentu ada atau
tidaknya suatu indikasi tindak pidana korupsi ialah lembaga seperti BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), BPKP, maupun Inspektorat Jenderal dan Akuntan Publik, maka
satu-satunya lembaga penentu ada atau tidaknya penyerobotan lahan ialah pihak BPN.
Ketika pihak BPN justru abai dan lalai, alias “tidak present” (tidak hadir) ketika terjadi konflik pertanahan dimana
pihak yang bersengketa salah satunya mengklaim kepemilikan berdasarkan sertifikat
hak atas tanah terbitan BPN, namun batas-batas kepemilikan tanahnya tidak jelas—alias
main asal klaim sepihak seperti menunjuk batas-batas atau mematok sepihak.
Maka, sebagai buntutnya, jadilah kasus-kasus kriminalisasi
yang menyerupai “a perfect crime”
dimana sertifikat hak atas tanah terbitan BPN menjelma “a tool of crime”. Kabar buruknya, apa yang penulis utarakan diatas,
yakni kemelut faktor politis demikian (ketidak-hadiran dan sikap tidak
transparan disamping abainya BPN), benar-benar terjadi di lapangan dan telah menimbulkan
begitu banyak konflik pertanahan yang cukup “berdarah-darah” dimana
prevalensinya tetap tinggi setiap dan sepanjang tahunnya. Akibat tiadanya
transparansi maupun akuntabilitas batas-batas bidang tanah yang diklaim sebagai
milik pemegang sertifikat hak atas tanah, dimana pihak pemegang sertifikat hak
atas tanah yang menunjuk dan mengklaim sendiri batas-batas bidang tanahnya,
sementara pihak BPN tidak pernah hadir ataupun menunjukkan “batang hidungnya”,
ibarat warga dibiarkan mencari jalan keluarnya sendiri tanpa adanya kepastian
hukum.
PEMBAHASAN:
Banyak pihak yang mengaku “pakar”
ilmu bela-diri yang mengajarkan para muridnya maupun masyarakat cara untuk “self-defense against knife attacker”
alias teknik untuk membela diri menghadapi serangan penjahat bersenjata tajam berupa
pisau. Realitanya, tangan ataupun tubuh dan jiwa Anda akan dalam bahaya besar jika
ternyata sang penyerang adalah pengguna pisau yang terampil memainkan pisaunya.
Opsi terbijak ialah, “RUN” alias
kabur melarikan diri, sekalipin jika “satu lawan satu dan masing-masing bertangan
kosong” Anda yakin dapat menang menghadapi sang penjahat. Antara teori dan
praktik nyata dalam realita, dapat begitu bersenjang.
Untuk memudahkan pemahaman,
salah satu ilustrasi konkretnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara uji materiil terhadap Undang-Undang
Nomor 39 tahun 2014 register Nomor 122/PUU-XIII/2015 tanggal 29 Oktober 2016, dengan
pasal-pasal yang dimohonkan uji materiil berupa:
“Pasal 55
Setiap Orang secara tidak sah
dilarang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan
perkebunan;
b mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah
masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dengan maksud untuk
Usaha Perkebunan;
c. melakukan penebangan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil perkebunan.
Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk budi
daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
a. area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau
b. areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O% (dua puluh persen) dari luas
lahan tersebut.
(21 Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan
lainnya, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Penjelasan Resmi Pasal 58 Ayat
(1):
Kewajiban memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 2O% (dua puluh persen) hanya
ditqiukan kepada Pekebun yang mendapatkan lahan untuk Perkebunan yang berasal
dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/ atau yang
berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas
Lahan Perkebunan yang bersumber dari lahan negara.
Dalam hal perolehan Lahan
Perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha,
maka Pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi.
Kewajiban fasilitasi Perkebunan
masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam
perolehan Lahan Perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan
hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% (dua puluh persen) lahan kepada
masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah Selesai.
Namun Pekebun tetap didorong
memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat
dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya.
Pasal 107
Setiap Orang secara tidak sah
yang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan
perkebunan;
b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah
masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk
Usaha Perkebunan;
c. melalukan penebangan tanaman Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil perkebunan;
sebagaimana dimaksud. dalam
pasal 55, dipidana dengan Pidana. penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak Rp4. 000. 000.000 (empat miliar rupiah).”
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Konstitusi kemudian membuat pertimbangan hukum serta amar putusan dengan
kutipan sebagai berikut:
“Menimbang, setelah memeriksa
secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan para Pemohon dalam persidangan,
dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat:
1. Bahwa Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan adalah berkaitan dengan
penguasaan / penggunaan lahan masyarakat hukum adat oleh pelaku usaha
perkebunan mengharuskan melalui musyawarah. sementara itu, Pasal 55 huruf a,
huruf c dan huruf d UU Perkebunan adalah pemberdayaan usaha perkebunan. Adapun
Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU Perkebunan adalah ketentuan pidana.
Apabila dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU
Perkebunan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Musyawarah
yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan Masyarakat Hukum Adat
dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak masyarakat hukum
adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan’ dan Pasal 55
huruf a, huruf c, dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, maka justru akan terjadi
ketidakpastian hukum. Sebab jika demikian, menjadi tidak jelas apa yang
dimaksud penggunaan lahan yang diperlukan untuk usaha perkebunan, apa yang
dimaksud pemberdayaan usaha perkebunan, dan ketentuan pidana yang mengatur
setiap orang secara tidak sah melakukan usaha di lahan Perkebunan. Justru,
dengna pengaturan norma terhadap pelaku usaha perkebunan ‘harus’ atau ‘wajib’
bermusyawarah dengan masyarakat hukum adat atas penguasaan lahan / tanah yang
digunakan menjadi areal perkebunan merupakan perlindungan hukum terhadap
masyarakat hukum adat akan eksistensi dan kedudukan hukumnya sehingga
mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan atas hak termasuk hak asasinya.
Demikian pula, Pasal 55 UU Perkebunan mengatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan dikualifikasi sebagai tindak pidana berlaku terhadap semua orang
termasuk pelaku uasha perkebunan, yaitu dilarang untuk mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah atau tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat, artinya ketentuan pelarangan dalam pasal tersebut jika
dibaca secara keseluruhan dan utuh telah mewujudkan kepastian hukum bagi
masyarakat hukum adat dan pelaku usaha perkebunan.
Berkenaan dengan Pasal 107 UU
Perkebunan yang mengatur mengenai sanksi pidana yang berlaku kepada setiap
orang, in casu masyarakat hukum adat dan atau pelaku usaha perkebunan dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000
(empat milyar rupiah) bagi yang tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki
dan menguasai, memanfaatkan kawasan / lahan perkebunan dan atau tanah
masyarakat atas tanah hak ulayat, bahwa pengenaan sanksi pidana dalam pasal
ini berlaku bagi setiap orang bukan hanya terhadap masyarakat hukum adat
apabila melakukan perbuatan yang tidak sah, sehingga telah terwujud
kepastian hukum. Dalam hal ini penting ditegaskan bahwa berkenaan dengan
keberadaan masyarakat hukum adat, Mahkamah telah memutus dalam perkara Nomor
95/PUU-XII/2014 bertanggal 10 Desember 2015 yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa keberlakuan ketentuan pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikecualikan terhadap
masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan
untuk kepentingan komersial, sehingga keberlakuan ketentuan pidana dalam Pasal
107 UU Perkebunan harus juga dibaca dalam semangat yang sama. Dengan demikian
tidak terdapat pertentangan Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf a, huruf c dan
huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU Perkebunan terhadap
UUD 1945;
2. Bahwa telah terang bagi Mahkamah apa yang dialami oleh para Pemohon
bukanlah kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK. Kalaupun benar para Pemohon merasa dirugikan oleh peristiwa yang
dialaminya, kerugian itu bukanlah disebabkan oleh inkonstitusionalnya norma
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 12 ayat (1), Pasal 55
huruf a, huruf c, dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan melainkan masalah penerapan norma Undang-Undang itu dalam praktik.
Mahkamah penting mengingatkan bahwa penerapan Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf
a, huruf c, dan hurud d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan harus dilakukan dengan mengindahkan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada angka 1 di atas;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas telah
ternyata bahwa kerugian yang dialami para Pemohon bukan merupakan kerugian
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
“Menimbang bahwa oleh karena
apa yang didalilkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan kerugian
konstitusional maka para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
AMAR PUTUSAN
Mengadili
Permohonan para Pemohon tidak
dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.