PK Tanpa Novum, Ibarat Kasasi terhadap Putusan Kasasi secara Terselubung
Question: Apa boleh, mengajukan PK hanya dengan alasan adanya kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan penerapan hukum semata, tanpa disertai adanya novum yang betul-betul signifikan peranannya?
Brief Answer: Masih terjadi inkonsistensi dalam praktik Mahkamah
Agung RI (MA RI) dalam memeriksa dan memutus perkara upaya hukum luar biasa
yang bernama “Peninjauan Kembali” (PK). Terdapat preseden dimana adanya “novum” (bukti baru yang bersifat
menentukan) adalah mutlak sebagai syarat formal mengajukan PK, sehingga
permohonan PK akan ditolak bilamana telah ternyata tidak disertakan novum yang bersifat menentukan. Namun tidak
sedikit dapat kita jumpai putusan-putusan PK oleh MA RI dimana permohonan PK dikabulkan
hanya atas dasar pertimbangan adanya kekhilafan hakim tanpa disertai adanya novum apapun yang bersifat menentukan—sehingga
menyerupai “kasasi terhadap kasasi” alias “kasasi kedua secara terselubung”,
mengakibatkan putusan kasasi yang bersifat inkracht
(berkekuatan hukum tetap) menjadi sekadar jargon semata yang kehilangan
maknanya. Adapun SHIETRA & PARTNERS menilai, praktik “kasasi kedua
secara terselubung” demikian bukanlah praktik berhukum yang sehat, mengingat
bertolak-belakang terhadap asas “litis
finiri opertet” yang mengamanatkan agar ada akhir dari suatu sengketa hukum
tanpa berlarut-larut yang berakibat terancamnya kepastian hukum.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman praktik
“kasasi terhadap putusan kasasi”, dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan
cerminan konkretnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara perdata register
Nomor 310 PK/Pdt/2013 tanggal 16 April 2014, dimana pada mulanya pihak Penggugat
dimenangkan oleh pengadilan hingga tingkat kasasi, namun pihak Tergugat mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat
pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa terhadap
alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan peninjauan
kembali tentang adanya kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dapat
dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Penggugat mendalilkan
kejadiannya hutang piutang pada tahun 1964/1965, sedangkan gugatan
diajukan pada tanggal 28 Januari 2007 sehingga sudah 43 tahun;
“Bahwa berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ditentukan hak tagih
mengenai hutang atas beban negara / daerah kedaluarsa setelah 5 (lima) tahun
sejak hutang tersebut jatuh tempo, dengan demikian hak tagih atas
piutang Penggugat kepada Tergugat telah kedaluarsa, oleh karena itu gugatan
Penggugat harus ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan
untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali
dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1479 K/Pdt/2010, tanggal 28 Februari
2011 serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar
putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali
tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1479 K/Pdt/2010, tanggal 28 Februari
2011;
MENGADILI KEMBALI:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk
seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.