Jangan Bersikap Seolah-Olah Itu merupakan Akhir dari Segalanya
Saat ulasan ini disusun, terjadi sebuah kejadian dimana pada event PON (Pekan Olahraga Nasional) tahun 2024 berupa kompetisi olahraga sepak bola antara tim kesebelasan Sulawesi Tengah versus kesebelasan Aceh, terjadi aksi kekerasan fisik berupa penganiayaan oleh tim Sulawesi Tengah terhadap sang wasit (pengadil lapangan), dimana sang wasit yang dinilai tidak adil dengan memihak secara parsial terhadap salah satu tim kesebelasan, mengatas-namakan “dizolimi” lantas memberikan “bogem tinju” kepada sang wasit yang kemudian jatuh terkapar dan harus dilarikan oleh ambulan ke rumah sakit. Banyak anggota masyarakat yang menyaksikan, justru membenarkan aksi persekusi (main hakim sendiri) oleh sang atlet yang melakukan penganiayaan.
Baik pihak pemain maupun
pengurus dari kesebelasan yang merasa “dizolimi” tersebut, mendapati wasit yang
berpihak kepada lawan sama artinya “akhir dari segalanya”, karenanya rela
melakukan kekerasan fisik demi melampiaskan kekecewaannya, dan menjadikan itu
sebagai pembenaran diri, sekalipun ancamannya ialah tidak dapat lagi diizinkan
berkompetisi untuk seumur hidup sang atlet. Penulis tidak bermaksud membenarkan
terlebih memihak sang wasit, namun pertanyaan penulis ialah : apakah layak dan
patut, membenam masa depan dan menyia-nyiakan profesi sang atlet demi
melampiaskan emosi kekecewaan terhadap sang “manusia sampah”? Demi emosi yang
impulsif, justru karir sang atlet benar-benar menuju “akhir dari segalanya”.
Sungguh dan patut disayangkan.
Yang jelas, sang atlet tidak
cocok untuk berkecimpung dibidang hukum. Atas dasar alasan apakah, sang atlet
tidak cocok untuk berkecimpung dibidang hukum? Banyak Aparatur Sipil Negara,
yang nyata-nyata menyimpangi prosedur demi memeras masyarakat, seperti aksi
berjemaah di berbagai kantor pertanahan, tidak terkecuali pejabat-pejabat
struktural dan fungsional di kantor pengadilan negeri. Belum lagi kita
berbicara perihal “jual beli putusan” oleh hakim mulai dari tingkat Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung di Indonesia—kesemua terjadi
secara terang-benderang, tanpa tedeng aling-aling, tanpa malu, dan begitu
lancar meluncur keluar dari mulut sang Aparatur Sipil Negara yang memandang
warga masyarakat sebagai “sapi perahan”. Apakah itu artinya, akhir dari
segalanya?
Jika tidak ingin beresiko
menghadapi “hakim lapangan” yang korup, maka jangan menjadi altet di lapangan.
Prinsip yang sama berlaku bagi profesi “pemain” di ruang peradilan, bila tidak
ingin berhadapan dengan hakim yang korup, maka jangan jadi pengacara. Kekerasan
fisik, bukanlah “solusi yang solutif”, itu sekadar menjadi pelampiasan pribadi
sesaat. Bila Anda seseorang yang idealis, Anda dapat memilih untuk menjadi
seorang akademisi, seniman, atau setidaknya menjadi seorang konsultan hukum
seperti penulis bila Anda tetap ingin berkecimpung dibidang hukum tanpa
bersentuhan langsung dengan Aparatur Sipil Negara baik di kantor pertanahan,
gedung pengadilan, maupun institusi-institusi pemerintahan lainnya yang
“bobrok” dan korup mentalnya secara berjemaah, generasi demi generasi,
sekalipun kepala pemerintahannya silih-berganti.
Tidak tertutup kemungkinan,
kelak tim kesebelasan dari Sulawesi Tengah tersebut, akan kembali berjumpa
“pengadil lapangan” yang sama korup, hampir sama korup, atau bahkan lebih korup
daripada sang wasit yang mereka buat jatuh terkapar saat kompetisi pada PON
tahun 2024 ini. Dengan memukul jatuh hingga terkapar sang wasit, apakah artinya
tim kesebelasan dari Sulawesi Tengah tersebut, tidak akan lagi berjumpa
wasit-wasit dengan model wasit korup demikian? Bila sang atlet tidak mau
berjumpa wasit yang korup, maka bertekadlah agar dapat bermain di Eropa, bukan
lagi berkompetisi di Indonesia. Salah seorang praktisi hukum yang pada mulanya
malang-melintang di Pengadilan Negeri di Indonesia, mendapati kekecewaan akibat
praktik kolusi hakim di Pengadilan Negeri, kemudian banting setir menjadi
pengacara yang hanya menangani masalah sengketa perdata di arbitrase.
Ciri-ciri seseorang, menentukan nasib hidupnya. Mungkin ada diantara para
pembaca yang berpikir bahwa, sang wasit korup demikian, mengapa bisa hidup dan
melanjutkan hidupnya dengan sikap korup semacam itu? Untuk menjawabnya, cobalah
Anda renungkan fenomena sosial berikut ini. Sewaktu wabah virus menular
mematikan antar manusia menjadi pandemik global pada tahun 2020-an (Corona
Viruse Disease 2019), banyak diantara warga kita yang kemudian antipati
terhadap protokol kesehatan, menentang prosedur pencegahan penularan, dengan
memberi contoh “itu lihat pemulung, tidak
pernah cuci tangan ketika akan makan, juga tidak pernah memakai masker penutup
hidung, tapi tetap bisa hidup.”—Namun, mereka lupa menyebutkan, selama ini seperti
apakah nasib hidup sang pemulung sampah.
Yang penting, bukan kita yang
korup, dan kita tidak perlu turut menjadi salah satu dari mereka. Secara
pribadi, penulis percaya bahwa hebat atau tidaknya seseorang, ditentukan oleh
daya tahannya. Orang yang kuat, tahan menghadapi gempuran serangan lawan. Orang
yang tabah, tegar sekalipun dihina dan difitnah. Orang yang kaya, tidak akan
bersedih kehilangan beberapa harta kekayaannya. Orang yang cerdas, tidak pernah
kelaparan ketenaran dan pengakuan. Orang yang suci, tidak pernah takut
ancaman-ancaman dogmatis. Karenanya, orang-orang yang memiliki daya tahan
tinggi, disebut demikian bukan karena mampu berlari marathon selama berjam-jam
tanpa henti. Seperti sabda Sang Buddha : “Mental
yang Kokoh seperti batu karang, bergeming sekalipun dihempas ombak dan badai.”
Jangankan di lapangan rumput
stadiun sepakbola, di tengah-tengah masyarakat kita sendiri pun kerap kita
berhadapan dengan “penghakim-penghakim” yang gemar menghakimi orang lain secara
“dungu”—alias bukan “hakim” yang bijaksana—dan seolah-olah mereka punya hak
untuk menghakimi orang lain, baik secara verbal maupun secara fisik. Ketika
kita memiliki pedoman rumus kehidupan berupa “bila berhadapan dengan pengadil
lapangan yang korup, maka lakukan persekusi”, maka hidup Anda tidak akan pernah
tenteram dan selalu dipenuhi konflik atau sengketa sepanjang Anda masih hidup
di Indonesia—negeri “agamais” yang ironisnya para warga gemar beribadah,
berbusana agamais, berbicara besar mengenai Tuhan dan agama, namun “tidak takut
berbuat dosa”, dan menjadi pecandu / pelanggan tetap ideologi korup bernama
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins).
Ketika sang atlet melakukan
persekusi terhadap sang wasit, maka itu sama artinya sang atlet mengakui bahwa
nasib hidup sang atlet ditentukan oleh sang wasit dan berada di tangan sang
wasit. Ketika sang atlet memiliki paradigma bahwa masa depan dan nasib hidup
sang atlet tidak ditentukan di tangan sang atlet, maka ia tidak akan melakukan
persekusi terhadap sang atlet. Untuk itu, penulis memiliki puisi dengan
rangkaian syair sebagai berikut:
“Sekalipun kita diperlakukan
secara tidak adil,
Kita bisa tetap melanjutkan
hidup dan karir kita,
Itulah yang disebut sebagai,
POSITIVE THINKING.
Kita bisa tetap melanjutkan
hidup,
Sekalipun tidak diberikan dan
tidak mendapatkan keadilan,
Itulah yang disebut sebagai,
POSITIVE THINKING.
Dengan tetap melanjutkan hidup
dan karir kita dengan baik,
Itulah cara membalas dendam
terbaik.
Sebaliknya, mereka yang
bersikap seolah-olah hanya bisa melanjutkan hidup,
Dengan cara merampas hak-hak
orang lain,
Disebut sebagai orang yang
NEGATIVE THINKING.
Jadilah permata yang tidak
ternoda,
Dan biarkanlah bila orang lain
ingin menjadi sampah penuh noda,
Itu urusan mereka sendiri,
Kita tetap teguh menjadi
permata yang tidak ternoda.
Ketika tidak ada yang
menghargai diri kita,
Hargailah diri kita sendiri,
Dan itu sudah cukup.”
Bahkan, saat ulasan ini
disusun, beredar berita dimana seorang ayah membunuh empat orang anak
kandungnya sendiri serta menganiaya istrinya, dengan alasan merasa cemburu
akibat istrinya selingkuh. Sang suami, bersikap seolah-olah hidupnya berakhir
dan merupakan “akhir dari segalanya” ketika istrinya selingkuh, lupa bahwa
nasib hidup dirinya semestinya ada di tangan dirinya sendiri. Faktanya, barulah
menjadi “akhir dari segalanya”, ketika sang suami kemudian divonis pidana
“mati” oleh Majelis Hakim akibat perbuatannya membunuh keempat kandung
kandungnya dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap sang
istri. Demi melampiaskan dendam, ia bahkan menyeret dirinya sendiri ke tangan
algojo. Lantas, apa yang kemudian menjadi alibi dari sang pelaku? “Gelap mata”,
itulah alibinya, klise. Sang suami penuh kekotoran batin (sehingga bisa menjadi
“keruh matanya”), namun masih merasa berhak menghakimi orang lain, bahkan
terhadap anak-anak yang tidak bersalah.
Tidak hanya itu, kerap kita
jumpai komentar-komentar dari mereka yang mengaku “agamais”, sedang membela
Tuhan dan agamanya, ketika ada “senggolan” sedikit saja terhadap agama atau
nabi / Tuhan yang ia junjung, maka menjadi alibi ataupun justifikasi
(pembenaran diri) untuk melakukan kekerasan fisik. “Jangan paksa kami untuk mengambil tindakan (berupa kekerasan fisik)!”,
demikian mereka berseru memberi ancaman, seolah-olah misi misionaris agama
mereka memang ialah “kekerasan fisik” serta satu-satunya budaya mereka ialah “menyelesaikan
setiap masalah dengan kekerasan fisik”—budaya yang jauh dari kata beradab,
alias masih “biadab”.
Dalam Buddhisme, berdana ada
banyak caranya, bisa berupa berdana uang, berdana organ tubuh (seperti
transfusi darah), berdana tenaga dan pikiran (kerja bakti dan sosial), dana
Dhamma (ajaran kebaikan), serta dana kesabaran (semisal bersikap sabar ketika
“dizolimi”). Salah satu pujian terhadap sikap sabar, dapat kita jumpai dalam khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya :
Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
215 (5) Ketidak-sabaran (1)
“Para bhikkhu, ada lima bahaya
dalam ketidak-sabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak disukai dan tidak
disenangi oleh banyak orang; ia menimbun permusuhan; ia memiliki banyak
kesalahan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam ketidak-sabaran itu.
[Kitab Komentar : “Seseorang
memiliki banyak permusuhan, baik dalam bentuk orang-orang yang merupakan
musuh-musuh maupun sebagai permusuhan [pikiran] yang tidak bermanfaat” (puggalaverenapi akusalaverenapi bahuvero).]
“Para bhikkhu, ada lima manfaat
dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang disukai dan disenangi oleh banyak
orang; ia tidak menimbun permusuhan; ia tidak memiliki banyak kesalahan; ia meninggal
dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia
terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima
manfaat dalam kesabaran itu.” [255]
~0~
216 (6) Ketidak-sabaran (2)
“Para bhikkhu, ada lima bahaya
dalam ketidak-sabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak disukai dan tidak
disenangi oleh banyak orang; ia kasar; ia penuh penyesalan; ia meninggal dunia
dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir
kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.
Ini adalah kelima bahaya dalam ketidaksabaran itu.
“Para bhikkhu, ada lima manfaat
dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang disukai dan disenangi oleh banyak
orang; ia tidak kasar; ia tanpa penyesalan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan;
dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan
yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam kesabaran itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.