Variasi Amar Putusan Pengadilan Perkara Perdata
Tuntutan Pokok dan Tuntutan Turunan / Dampingan dalam
Perkara Gugatan Perdata di Pengadilan
Makna Amar Putusan “Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Sebagian dan Menolak Gugatan Penggugat untuk Selebihnya”
Dalam banyak kasus sebagaimana dapat kita telaah dari berbagai putusan Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, telah ternyata adakalanya masyarakat pencari keadilan yang bersengketa di Pengadilan Negeri untuk diputus perkaranya, mendapati Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus tidaklah benar-benar memahami seutuhnya hukum acara perdata ataupun keterampilan dan pengetahuan hukum yang mendasar sebagai seorang hakim pemutus perkara. Dalam “best practice” yang selama ini menjadi praktik peradilan perkara perdata, terdapat beragam variasi amar putusan hakim terhadap surat gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat dalam tuntutannya terhadap pihak yang digugat. Ragamnya tidak sekadar “menolak” ataupun “mengabulkan” gugatan, namun dapat demikian beragam serta penuh variasi, disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan dalam surat gugatan (petitum).
Dalam suatu gugatan, dapat
terkandung satu atau lebih “tuntutan pokok”, dimana “tuntutan pokok” juga dapat
didampingi “tuntutan turunan” atau “tuntutan dampingan”. Sebagai contoh, jika
pokok tuntutannya ialah agar pengadilan menyatakan bahwa Penggugat adalah pihak
yang sah sebagai pemilik suatu paten / hak cipta, sebagai contoh, maka “tuntutan
turunannya” dapat berupa “menyatakan batal sertifikat paten / hak cipta atas
nama pihak Tergugat”, karenanya “tuntutan turunan” sangat bergantung pada
dikabulkan atau ditolaknya “tuntutan pokok”. Sederhananya, “tuntutan turunan”
hanya dapat dikabulkan oleh hakim di pengadilan ketika “tuntutan pokok”
dikabulkan oleh pengadilan.
Adapun contoh dua atau lebih “tuntutan
pokok”, salah satu ilustrasi sederhananya ketika seorang debitor memeroleh
fasilitas Kredit Kendaraan Bermotor dari lembaga keuangan ataupun lembaga
pembiayaan. Ketika sang debitor dinilai wanprestasi (ingkar janji) untuk mencicil
dan melunasi hutangnya, bahkan mengalihkan objek kendaraan kepada pihak ketiga
secara sepihak, maka pihak kreditor dapat merumuskan setidaknya dua buah “tuntutan
pokok” dalam surat gugatan, yakni : Pertama, menyatakan bahwa sang debitor
telah cidera janji melunasi / mencicil sebagaimana perjanjian kredit kendaraan
bermotor. Kedua, menyatakan bahwa sang debitor telah melakukan perbuatan melawan
hukum maupun wanprestasi dengan mengalihkan objek kendaraan kepada pihak ketiga
tanpa izin dari pihak kreditor.
Kedua tuntutan dalam contoh
kasus diatas, masing-masing saling berdiri sendiri dan independen sifatnya. Sebagai
gambaran sederhananya, jika Majelis Hakim menilai bahwa sang debitor tidaklah
ingkar janji mencicil, maka “tuntutan pokok” pertama yang diajukan oleh pihak
kreditor selaku Penggugat akan dinyatakan “ditolak”. Adapun Majelis Hakim kemudian
harus serta akan beralih kepada “tuntutan pokok” kedua, yakni apakah benar sang
debitor mengalihkan objek kendaraan kepada pihak ketiga tanpa seizin
kreditornya? Jika Majelis Hakim menilai pihak Penggugat mampu membuktikan dalilnya
tersebut, maka “tuntutan pokok” kedua berpotensi untuk “dikabulkan”. Konstruksi
peristiwa dapat terjadi sebaliknya, “tuntutan pokok” pertama dinyatakan
terbukti karenanya “dikabulkan”, sementara itu “tuntutan pokok” kedua
dinyatakan tidak terbukti karenanya “ditolak”.
Masih dalam contoh kasus
diatas, bila seluruh tuntutan atau permintaan dalam surat gugatan dibenarkan oleh
Majelis Hakim karenanya dikabulkan oleh pengadilan dalam putusannya, maka redaksional
amar putusan berupa rumusan kalimat sebagai berikut : “mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.” Bila kedua “tuntutan
pokok” pihak Penggugat dinilai tidak terbukti dan tidak beralasan untuk
dikabulkan, maka amar putusannya ialah “menolak
gugatan Penggugat untuk seluruhnya”. Lantas, bagaimana bila terdapat lebih dari
satu butir “petitum” dalam surat
gugatan, sementara itu hanya sebagian diantaranya yang dikabulkan, semisal
terjadi akibat uraian kronologi sengketa dan hubungan hukum dalam surat gugatan
(posita) tidak mendukung salah satu “petitum” sehingga gugatan tidak dapat “dikabulkan
untuk seluruhnya”? Maka yang menjadi amar putusan pengadilan ialah dengan rumusan
sebagai berikut:
“MENGADILI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ...;
3. Menghukum ...;
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Menjadi keliru menerapkan hukum
acara perdata, ketika terhadap “tuntutan pokok” pertama oleh hakim dinyatakan “ditolak”,
maka secara serta-merta sang hakim menolak seluruh tuntutan dalam surat gugatan
tanpa memeriksa apakah berbagai tuntutan-tuntutan dalam surat gugatan adalah hanya
terdiri dari satu buah “tuntutan pokok” ataukah terdiri dari dua atau lebih “tuntutan
pokok”. Untuk memudahkan pemahaman, terdapat ilustrasi konkret sebagaimana
dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan dalam putusan Pengadilan
Negeri Stabat sengketa perdata register Nomor 42/Pdt.G/2022/PN.Stb tanggal 30
Desember 2022, dimana yang menjadi “petitum”
(pokok permintaan / tuntutan dalam surat gugatan) pihak Penggugat ialah:
1. Menyatakan Sah Akta Notaris yang
menjadi alas hak kepemilikan Penggugat atas Objek Tanah;
2. Menyatakan bahwa Objek Tanah
tidak masuk dalam Sertipikat HGU milik PT. Serdang Hulu No 3 / Tanjung Gunung /
2005 dan Surat Ukur No 01 / Tanjung Gunung / 2005;
3. Menyatakan Penggugat berhak
menguasai Objek Tanah.
Dimana terhadapnya, Majelis
Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari apa yang
terurai diatas maka yang menjadi pokok sengketa / persoalan yang harus
dibuktikan adalah:
1. Siapakah sebenarnya pemilik yang berhak atas tanah objek sengketa
tersebut?;
2. Apakah benar objek sengketa berada diluar Sertifikat Hak Guna Usaha
Tergugat Konvensi I?;
Menimbang, bahwa guna menyokong
dalilnya atas kepemilikan tanahnya, Penggugat Konvensi telah mengajukan bukti
kepemilikannya melalui bukti P.8 berupa Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan
Ganti Rugi, Nomor 45/L/VIII/2017 tanggal 22 Agustus 2017 atas nama Yuspenti Br
Surbakti, Semangat Tarigan dan Drs. Siang Ginting Manik, yang dikeluarkan oleh
Notaris Sri Anitha Ginting, S.H., M.Kn;
Menimbang, bahwa sebaliknya
Tergugat Konvensi I menyokong dalil kepemilikannya pula telah mengajukan bukti
surat Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 3 tanggal 19 April 2005, atas nama PT.
Serdang Hulu yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat
(Vide bukti T.I-3 yang smiliar dengan bukti P-5);
Menimbang, bahwa dari bukti
kepemilikan Penggugat berupa Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi,
Nomor 45/L/VIII/2017 tanggal 22 Agustus 2017 atas nama penjual Yuspenti Br
Surbakti, Semangat Tarigan dan pembeli Drs. Siang Ginting Manik, yang
dikeluarkan oleh Notaris Sri Anitha Ginting, S.H., M.Kn (vide bukti P-8)
setelah diteliti secara seksama adalah merupakan fotocopy surat yang tidak
dapat ditunjukkan aslinya dipersidangan yang keadaan mana sama halnya dengan
bukti surat Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 3 tanggal 19 April 2005, atas nama
PT. Serdang Hulu yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Langkat (Vide bukti T.I-3 yang similar / sama dengan bukti P-5), yang terhadap
keadaan mana Majelis Hakim berpendapat bahwasanya bukti-bukti surat dimaksud
tetap dapat diterima dalam pembuktian hukum acara perdata sepanjang dipenuhi
persyaratan bahwasanya bukti surat dimaksud dikuatkan oleh alat pembuktian
lainnya yang keberlakuanya harus sejalan dengan syarat limitatif dimaksud;
Menimbang, bahwa selanjutnya
Majelis Hakim akan menilai apakah bukti Surat Penggugat Konvensi berupa
Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi, Nomor 45/L/VIII/2017 tanggal 22
Agustus 2017 atas nama penjual Yuspenti Br Surbakti, Semangat Tarigan dan
pembeli Drs. Siang Ginting Manik, yang dikeluarkan oleh Notaris Sri Anitha
Ginting, S.H., M.Kn (vide bukti P-8) dapat dikuatkan oleh alat pembuktian lain,
sehingga fotokopi surat dimaksud memiliki kekuatan pembuktian yang bebas, artinya
diserahkan kepada penilaian hakim. Penggunaan dan penilaian kekuatan pembuktian
fotokopi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan
alat bukti lainnya yang sah.
Menimbang, bahwa bukti surat
bertanda P-8 dimaksud setelah diteliti dan dicermati dalam jawab jinawab dalam
perkara a quo keberadaannya telah dibantah oleh Tergugat Konvensi I dan
Penggugat Konvensi tidak pula dapat menghadirkan orang-orang yang bertanda
tangan yang mempunyai keterkaitan langsung perbuatan hukum pelepasan hak atas
tanah dengan ganti rugi dalam hal ini adalah Yuspenti Br Surbakti dan semangat
Tarigan, demikian pula halnya orang-orang yang bertanda tangan dalam bukti
surat yang menjadi satu kesatuan dengan bukti P-8 tersebut, yaitu Surat
Penyerahan Hak tertanggal 1 Februari 2016 yang didalamnya berisi letak, luas
dan batas-batas tanah yang menjadi dasar dari perbuatan hukum sebagaimana bukti
P-8 tidak pula dapat dihadirkan oleh Penggugat Konvensi dalam perkara a quo
untuk menguatkan dalil gugatannya;
Menimbang, bahwa demikian pula
halnya dengan bukti surat lainnya dari Penggugat Konvensi berupa Surat
Pernyataan atas nama Saudaranta Surbakti, Semangat Tarigan, Yuspenti Br.
Surbakti dan Imanuel Surbakti yang dikeluarkan oleh Saudaranta Surbakti,
Semangat Tarigan, Yuspenti Br. Surbakti dan Imanuel Surbakti (vide Bukti P-9),
Surat Pernyataan tanggal 25 Juli 2022, atas nama Hardi Aprianta Sitepu, yang
dikeluarkan oleh Hardi Aprianta Sitepu (Vide Bukti P-10) dan Surat Pernyataan
tanggal 25 Juli 2022 atas nama Limana Surbakti, yang dikeluarkan oleh Limana
Surbakti (Vide bukti P-11) serta Surat Pernyataan tanggal 25 Juli 2022 atas
nama Darmawan Ginting, yang dikeluarkan oleh Darmawan Ginting (vide bukti
P-13), yang bukti-bukti mana adalah merupakan surat pernyataan yang berisi
pengakuan dari yang membuat pernyataan tersebut mengenai objek sengketa berada
diluar HGU Tergugat Konvensi I yang menurut Majelis Hakim dikategorikan sebagai
akta dibawah tangan yang hanya memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan
pembuktian setara dengan akta autentik apabila diakui oleh orang yang
membuatnya dihadapan persidangan (vide Pasal 1875 KUHPerdata), yang orang-orang
mana tidak pernah pula dihadirkan oleh Penggugat Konvensi untuk memberikan
keterangannya didepan persidangan, sehingga bukti-bukti surat dimaksud tidak
memenuhi nilai pembuktian materil suatu surat pernyataan untuk menguatkan dalil
Penggugat Konvensi;
Menimbang, bahwa demikian pula
terhadap Surat Pernyataan tanggal 25 Juli 2022 atas nama Senen Surbakti, yang
dikeluarkan oleh Senen Surbakti (Vide bukti P-12), yang mana Senin Surbakti
memberikan keterangan didepan persidangan terkait membenarkan surat pernyataan
yang dibuatnya tersebut, namun saksi dimaksud tidak dapat memberikan alasan
yang jelas mengenai sumber pengetahuannya karena saksi dimaksud tidak
mengetahui atau bukan orang yang terlibat langsung dalam perolehan tanah objek
sengketa berdasarkan bukti P-8 dan saksi tidak mengetahui dari siapa dan kapan
Penggugat Konvensi membeli tanah tersebut dan saksi mengetahui mengenai
pembelian tersebut adalah karena diberitahu oleh Penggugat Konvensi, demikian
pula halnya saksi lainnya dari Penggugat Konvensi Arifin Edi Ginting dan saksi
Tulis Ginting yang juga tidak mengetahui pasti mengenai proses jual beli kapan
dan dari siapa tanah objek sengketa sebagaimana yang didalilkan Penggugat
konvensi dibeli;
Menimbang, bahwa saksi
Penggugat konvensi tersebut hanya menjelaskan bahwasanya tanah objek perkara
berada diluar HGU Tergugat Konvensi I, demikian pula halnya dengan bukti surat
Penggugat Konvensi selain dan selebihnya adalah bukan merupakan bukti
kepemilikan dan tidak pula dapat dijadikan bukti surat yang dapat menguatkan
bukti pokok kepemilikan Penggugat Konvensi;
Menimbang, bahwa sebaliknya
Tergugat Konvensi I bukti surat Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 3 tanggal 19
April 2005, atas nama PT. Serdang Hulu yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Langkat (Vide bukti T.I-3 yang smiliar dengan bukti P-5)
meskipun juga merupakan foto copy yang tidak pernah ditunjukkan aslinya
dipersidangan yang keberadaan bukti mana tidak pernah dibantah atau dalam arti
kata diakui oleh Penggugat Konvensi sebagai alas hak dari Tergugat I, yang
keberadaan bukti surat mana dikuatkan oleh Bukti T.I-1, bukti T-.I-2 yang
dikuatkan oleh saksi-saksi Tergugat Konvensi I, sehingga bukti surat Sertipikat
Hak Guna Usaha Nomor 3 tanggal 19 April 2005, atas nama PT. Serdang Hulu yang
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat (Vide bukti T.I-3
yang smiliar / sama dengan bukti P-5), termasuk dalam golongan bukti surat
berbentuk akta autentik yang ditempatkan sebagai alat bukti yang tertinggi dan
paling sempurna kedudukannya dari alat bukti lainnya;
Menimbang, bahwa selanjutnya
Majelis akan menilai pokok persengketaan kedua Apakah benar objek sengketa
berada diluar Sertifikat Hak Guna Usaha Tergugat Konvensi I ?;
Menimbang, bahwa sebagaimana
yang telah Majelis pertimbangkan dalam pembuktian mengenai bukti surat
kepemilikan para pihak sebagaimana diatas, maka dengan demikian Penggugat
Konvensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya berhak atas tanah sengketa,
sementara dari alat-alat bukti yang diajukan Tergugat telah berhasil
membuktikan dalil-dalil sangkalannya, sehingga sudah tidak relevan lagi
Penggugat mendalilkan tanah objek sengketa adalah berada diluar hak Kepemilikan
Tergugat I hanya berdasarkan Bukti P-6 yang similar / sama dengan T.I-3, karena
Penggugat Konvensi sendiri tidak dapat mendalilkan Pokok Kepemilikannya dalam
perkara a quo sebagaimana yang telah Majelis Hakim pertimbangkan dimuka dan
lagipula orang sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat Konvensi memperoleh
tanah objek sengketa darinya yaitu Yuspenti Br Surbakti yang tidak pernah
dihadirkan oleh Penggugat Konvensi kepersidangan, berdasarkan bukti T.I-5 telah
terbukti pernah dijatuhi pidana karena pencurian dilahan sawit milik Tergugat
Konvensi I yang dari hal mana Majelis Hakim telah memperoleh persangkaan
bahwasanya tanah objek perkara adalah merupakan milik Tergugat Konvensi I dan
tanah objek perkara adalah benar berada dalam penguasaan Tergugat Rekonvensi I
sebagaimana hasil pemeriksaan setempat Majelis Hakim mendapati adanya pohon
sawit yang telah berusia lama diatas tanah sengketa yang jenis pohon dan
usianya sama dengan sawit HGU Tergugat Konvensi I;
Menimbang, bahwa lebih lanjut
pula jika dihubungkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016
mengenai kriteria pembeli beritikad baik, Penggugat Konvensi sebelum membeli
tanah objek sengketa sebagaimana bukti P-8 melakukan kehati-hatian dengan
meneliti hal-hal yang berkaitan dengan tanah objek sengketa;
Menimbang, bahwa berdasarkan
uraian pertimbangan hukum diatas secara keseluruhan, maka Penggugat Konvensi
tidak dapat membuktikan dalil-dalil pokok gugatannya, sehingga posita dan
petitum gugatan Pengguat Konvensi selain dan selebihnya tidak perlu
dipertimbangkan lagi dan oleh karena itu Majelis Hakim berkesimpulan
gugatan Penggugat Konvensi ditolak seluruhnya karenanya gugatan Penggugat
Konvensi haruslah ditolak seluruhnya;
Menimbang, bahwa dalam sidang
permusyawaratan, tidak dapat dicapai mufakat bulat karena Hakim Anggota II
Yusrizal, berbeda pendapat khususnya tentang pertimbangan Petitum ketiga
gugatan Penggugat Konvensi dengan uraian sebagai berikut:
Bahwa, suatu surat gugatan
(termasuk gugatan a quo) memiliki materi muatan yang terdiri dari tuntutan
yang bersifat pokok dan tuntutan yang bersifat accessoir, namun demikian sangat
dimungkinkan di dalam suatu gugatan memiliki lebih dari satu tuntutan pokok,
terutama dalam hal terjadinya penggabungan gugatan. Pada dasarnya dikabulkan
atau tidaknya suatu tuntutan yang bersifat accessoir sangat bergantung pada
dikabulkan atau tidaknya tuntutan pokok, namun sebaliknya dikabulkan atau
tidaknya tuntutan pokok tidak bergantung pada dikabulkan atau tidaknya tuntutan
yang bersifat accessoir. Hal itu dapat dipahami karena tuntutan yang
bersifat accessoir memiliki sebab akibat dengan tuntutan pokok;
Bahwa, setelah Hakim anggota II
mencermati dengan seksama struktur dari gugatan Penggugat Konvensi khususnya
dari petitum gugatan Konvensi, Hakim anggota II menyimpulkan gugatan
dimaksud memiliki dua tuntutan pokok, yaitu tentang hak atas kepemilikan
/ pengguasaan obyek sengketa (vide petitum kedua dan keempat gugatan konvensi),
dan juga tuntutan agar obyek sengketa dinyatakan diluar HGU Tergugat I Konvensi
(vide petitum ketiga gugatan konvensi), terkait kedua tuntutan tersebut
masing-masing berdiri sendiri, atau dapat dipisahkan satu sama lain,
sehingga masing-masing tersebut tergolong tuntutan pokok, dan sebagai
konsekuensinya apakah dikabulkan atau tidaknya salah satu tuntutan tersebut
tidaklah bergantung pada dikabulkan atau tidaknya tuntutan yang lain;
Bahwa, meskipun demikian, oleh
karena tuntutan Penggugat Konvensi tentang hak atas kepemilikan / pengguasaan
obyek sengketa (vide petitum kedua dan keempat gugatan konvensi) telah ditolak,
maka sebagai konsekuensinya Penggugat Konvensi tidak lagi memiliki kapasitas
(legal standing) untuk mengajukan tuntutan atas obyek sengketa, termasuk
tuntutan agar Objek Gugatan dinyatakan tidak masuk dalam Sertipikat HGU PT
Serdang Hulu No 3 / Tanjung Gunung / 2005 dan Surat Ukur No 01 / Tanjung Gunung
/ 2005, karenanya petitum ketiga gugatan Penggugat Konvensi haruslah
dinyatakan tidak dapat diterima;
Demikian uraian pendapat Hakim
Anggota II Yusrizal, mengenai perbedaan pendapat dalam rapat permusyawaratan
Majelis Hakim dalam rangka menjatuhkan putusan perkara ini;
DALAM REKONVENSI
Menimbang, bahwa maksud dan
tujuan gugatan Penggugat Rekonvensi / Tergugat Konvensi I pada pokoknya adalah
PenggugatRekonvensi / Tergugat Konvensi I telah mempunyai hak yang sah secara
hukum yang dilindungi oleh Undang-undang dan Peraturan-peraturan untuk itu,
maka sangat beralaskan hukum jika Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi
terhadap tanah terperkara seluas ± 90.336 M2 yang diklaim tersebut dinyatakan
tidak berkekuatan hukum dan Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi telah
melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga mengakibatkan Penggugat Rekonvensi /
Tergugat Konvensi I mengalami kerugian materil dan immaterial karenanya;
Menimbang bahwa terhadap
gugatan Rekonvensi tersebut, Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi dalam
repliknya telah mengemukakan hal-hal pada pokoknya PT. Serdang Hulu hanya
menguasai berdasarkan hak dan legalitas yang sah yaitu HGU Nomor 1 dan Nomor 2
yang kemudian diperpanjang dengan HGU Nomor 3 Tahun 2005 dan Tergugat Konvensi
II selalu dijadikan tameng oleh Penggugat Rekonvensi / Tergugat Konvensi
Idengan laporan palsu untuk menguasai tanah Tergugat Rekonvensi / Penggugat
Konvensi yang berada diluar HGU;
Menimbang, bahwa setelah
Majelis membaca dan meperhatikan dengan seksama posita dan petitum gugatan
Rekonvensi ternyata adalah mempermasalahkan hal yang sama dengan apa yang
termuat dalam Permohonan Konvensi;
Menimbang, bahwa seperti halnya
gugatan, dalam gugatan Rekonvensi harus pula disusun secara jelas lengkap dan
terperinci yang setelah Majelis Hakim mempelajari secara seksama mengenai posita
dan petitum gugatan Rekonvensi, Penggugat Rekonvensi meminta dalam petitum
pokoknya agar terhadap tanah terperkara seluas ± 90.336 M2 yang diklaim
tersebut dinyatakan tidak berkekuatan hukum, yang hal mana menurut Majelis
Hakim adalah saling bertolak belakang (kontradiktif) dengan apa yang didalilkan
Penggugat Rekonvensi dalam jawabannya terhadap gugatan Konvensi, karena menurut
tertib hukum acara perdata tidak mungkin sekiranya menuntut sesuatu jika tidak
dijabarkan alasan-alasan menurut hukum dalam posita gugatan Rekonvensi apakah
yang tidak berkekuatan Hukum dasar kepemilikan Tergugat Rekonvensi atau tanah
objek perkaranya?. dan sesuai dengan asas-asas berperkara di pengadilan pula
suatu gugatan harus didasarkan pada suatu yang jelas, lengkap, dan terperinci,
maka gugatan tidak boleh bersifat samar-samar, tidak jelas/kabur, hal yang sama
pula berlaku sebagai formalitas terhadap gugatan Rekonvensi;
Menimbang bahwa atas dasar
pertimbangan tersebut di atas, oleh karena gugatan Rekonvensi pokok kabur dan
antara gugatan Rekonvensi dengan gugatan Konvensi mempunyai hubungan hukum yang
saling bertolak belakang dan tidak didasarkan pada suatu yang jelas, lengkap
dan terperinci, maka Majelis Hakim berkesimpulan gugatan rekonvensi tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklaard);
“M E N G A D I L I :
DALAM KONVENSI :
Dalam Eksepsi :
- Menolak Eksepsi Tergugat Konvensi I dan Tergugat Konvensi II;
Dalam Pokok Perkara :
- Menolak gugatan Konvensi untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI:
- Menyatakan gugatan Rekonvensi tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard);”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.