(DROP DOWN MENU)

Mengupas Psikologi Hakim Korup yang Bersimbiosis dengan Sipil yang Bermodal

Hakim Sesumbar “Bila Hakim Sejahtera, Maka Putusan Akan Adil”. Ketika Hakim Sudah Makmur Akibat Diberi Uang Suap / Meminta Sogokan Miliaran Rupiah, Ternyata Putusannya Memihak Penjahat yang Memberi “Uang Pelicin”

Psikologi sosial antara rakyat jelata yang miskin, memiliki psikologi yang berbeda dengan masyarakat sipil yang tergolong berpunya dan bermodal kuat. Bila sang “pencari keadilan” berlatar-belakang ekonomi yang sehari-hari untuk mencari makanan dan memberi makan bagi keluarganya saja sudah merasa sukar, maka menjumpai atau mendapati aparatur penegak hukum yang meminta sejumlah uang (kolusi alias memperdagangkan wewenang monopoli akses peradilan), agar sang warga diberikan akses keadilan secara perdata maupun pidana, itu sama artinya “justice denied”. Namun, telah ternyata tidak semua kalangan menilai negatif “budaya korup” peradilan maupun aparatur penegak hukum kita di Indonesia.

Bagi investor asing, pejabat Indonesia yang sudah dikenal luas sebagai mudah disuap, “mudah dibeli” (bahkan lebih asusila daripada wanita tunasusila yang menjajakan dirinya / menggadaikan jiwanya demi sejumlah bayaran), sumpah jabatan sekadar sebagai “gimmick”, hanya takut (terhadap) babi namun tidak takut berbuat dosa (ada “penghapusan dosa”), perizinan yang mudah “ditabrak” dan “diserempet”, “KUHP, kasih uang habis perkara”, “UUD, ujung-ujungnya uang”, “uang pelicin”, menjadikan Indonesia sebagai destinasi tujuan investasi yang cukup “sensuil” bila tidak dapat disebut sebagai “menggoda pria hidung-belang”. Bila masyarakat sipil jelata yang merambah hutan untuk dijadikan kebun sawit, ancaman hukumannya ialah pidana penjara badan. Sebaliknya, korporasi yang jelas-jelas dan nyata-nyata mencaplok kawasan hutan seluas ratusan hingga ribuan hektar dijadikan kebun sawit tidak berizin atau yang izin kebun sawitnya melampaui batas semestinya, paling jauh hanya diancam pidana denda. Segalanya sesuatunya di Indonesia, dapat “di-putih-kan”, sepanjang Anda punya modal yang cukup untuk itu.

Hukum, bisa “dibeli”—dalam artian bisa disimpangi dan ditekuk sesuai kepentingan dan kebutuhan. Kisah berikut, adalah kisah nyata yang terjadi dalam praktik nyata dalam realita di lapangan. Seorang pejabat di Kantor Pertanahan (BPN), merujuk pada peraturan berupa SOP BPN yang mensyaratkan A—Z. Lalu, sang pejabat berpesan berikut kepada warga pemohon pelayanan publik : “Bila kamu bayar segini ke saya, maka tidak perlu pakai persyaratan-persyaratan ini, prosedurnya dipermudah. Jadi kita ‘potong-kompas’ dengan ‘by pass’ persyaratan-persyaratan dalam SOP di BPN ini.” Prosedur yang diatur oleh hukum, selalu menjadi alibi sempurna (perfect crime, law as a tool of crime), bagi kalangan Aparatur Sipil Negara dalam memeras masyarakat. Peraturan Daerah tentang Tata Ruang, merupakan salah satu norma “hukum positif” yang selama ini juga kerap dipelihara oleh Pegawai Negeri Sipil, dimana banyak alih-fungsi pemukiman menjadi tempat usaha, yang kemudian di-“beking”-i oleh aparatur pemerintah kelurahan setempat demi sejumlah “imbalan”.

Tahukah Anda, apa yang dipikirkan dan diucapkan oleh mereka yang tergolong bermodal kuat, ketika dihadapkan pada aparatur penegak hukum yang “korup” (meminta-minta uang suap / sogokan / pemerasan) agar akses terhadap perizinan maupun menuju keadilan diberikan dengan tanpa hambatan? “JIka masalahnya adalah uang, maka itu bukan masalah,” itulah yang paradigma berpikir kalangan bermodal kuat, jika masalahnya adalah uang maka itu bukanlah masalah. Bagi sebagian besar masyarakat kita yang hidup dibawah garis kemiskinan, jika masalahnya adalah uang maka itu menjadi masalah besar. Karenanya, tidak heran bila keduanya bagaikan hidup di dua dunia yang saling berbeda, dimana si “tidak berpunya” selalu terjebak dalam kondisi tidak berdaya, sementara si “berpunya” selalu berdaya. Bukan lagi soal “keadilan”, namun siapa yang mampu membeli komoditas bernama “keadilan”. “Keadilan”, sayangnya, merupakan “kata benda” (noun)—bukan “adil” yang merupakan “kata sifat” (adjektiva). Karenanya, antara “bersikap adil” (verba, kata kerja) tidak selalu berkonotasi “keadilan”, ataupun sebaliknya.

Kesemua ini ialah persoalan “daya tawar”. Ketika aparatur penegak hukum memperdagangkan pengaruh, wewenang, monopoli akses peradilan maupun keadilan, maka akan ada “supply” (siapa yang mampu membayar, ia yang diberikan keadilan). Kita ketahui bersama, semua warga memiliki “demand” terhadap akses menuju peradilan dan keadilan, namun berapa banyak diantara kita yang mampu “membayar” dan mengakses atau menjamahnya? Karenanya, ruang-ruang peradilan, kantor-kantor kepolisian, institusi-institusi pemerintahan, menjelma “pasar”, dimana “hukum pasar” tanpa terkecuali berlaku di sini. Satu-satunya perbedaan antara ruang peradilan dan pasar tradisional ialah, harga-harga komoditi di pasar tradisional cenderung terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat serta pasokannya melimpah, karenanya semua pihak dapat mengakses serta menjangkaunya tanpa kesulitan berarti. Sebaliknya, dalam ruang-ruang peradilan, “pasokan” (keadilan)-nya terbatas, harus ada yang di-“menang”-kan dan harus ada yang di-“kalah”-kan.

Terlepas dari kedua “kasta” di atas, terdapat warga sipil dengan “kasta” ketiga, yakni mereka terlepas “berpunya” atau “tidak berpunya”, lebih memilih untuk memberikan sesuatu yang ia miliki kepada orang lain yang lebih membutuhkan maupun yang moralitasnya unggul serta mulia, daripada memberikan kepada “manusia hewan” berjubah “Yang Mulia” ataupun “preman barbaju polisi”. Pernah pada suatu ketika, penulis menjadi korban penganiayaan, namun pihak kepolisian hanya mau merujuk penulis kepada rumah sakit tertentu untuk dibuatkan visum dengan biaya pembuatan visum yang tidak masuk diakal (hanya sekadar pemeriksaan luka luar, namun meminta ratusan ribu rupiah yang setara gaji satu minggu bekerja), dimana pihak kepolisian menolak permintaan penulis agar cukup diberikan surat rujukan pembuatan visum ke Rumah Sakit Umum Daerah maupun Puskesmas setempat, sekalipun itu dimungkinkan dari banyak preseden, sehingga penulis patut curiga bahwa ada “kongkalikong” antara rumah sakit tempat pembuatan visum dan pihak kepolisian yang memonopoli surat rujukan pembuatan visum.

Alhasil, penulis tidak melanjutkan proses aduan, dan lebih memilih mendanakan uang milik penulis kepada lembaga sosial yang jauh lebih mulia manfaatnya. Bagi penulis, daripada menguntungkan Pegawai Negeri Sipil yang justru memeras warga sipil, lebih baik menjadi donatur lembaga sosial. Mengapa orang-orang suci, menurut Buddhisme merupakan “ladang subur menanam jasa”? Hal ini, terkait “kelayakan”. Penjelasannya dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

I. Layak Menerima Pemberian

1 (1) Layak Menerima Pemberian (1)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” Para bhikkhu itu menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?

(1) Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

[N’eva sumano hoti na dummano, upekkhako viharati sato

sampajāno. Kitab Komentar menerangkan : “Tidak bergembira juga tidak bersedih: [dipenuhi] dengan kegembiraan yang disertai dengan nafsu sehubungan dengan objek yang disenangi. Juga [ia tidak] bersedih: [dipenuhi] dengan kesedihan yang disertai dengan penolakan sehubungan dengan objek yang tidak disenangi. Melainkan [ia] berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih: ia bukan seimbang karena ia telah jatuh ke dalam ‘keseimbangan ketidaktahuan’ (aññā’upekkhā) melalui sikap tidak peduli dalam hal objek yang netral; melainkan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mempertahankan netralitas sehubungan dengan objek. Dalam sutta ini, yang dibahas adalah keberdiaman konstan seorang Arahant.”]

(2) Setelah mendengar suatu suara dengan telinga, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(3) Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(4) Setelah mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(5) Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(6) Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu puas mendengar pernyataan Sang Bhagavā. [280]

~0~

2 (2) Layak Menerima Pemberian (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.

(2) “Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

(3) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran terlampaui sebagai pikiran terlampaui dan pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan.

(4) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(5) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(6) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

~0~

3 (3) Indria

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [282] Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.