Mengapa Judol, Pinjol, maupun Paylater Perlu DILARANG TOTAL? Ini Penjelasan Falsafahnya

Negara Lewat Pemerintah, Punya Kewajiban Menjalankan Peran dan Fungsi Utamanya dalam Menghentikan Sikap Irasional Warganya Sendiri

Negara Kita Tidak Sedang Baik-Baik Saja, dan Tingkat Intelektual Warga Kita pun Tidak Sedang Baik-Baik Saja

Question: Dalam hukum perdata, ada istilah “asas kebebasan berkontrak dan bersepakat”, dimana “kesepakatan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya”. Lalu, pertanyaannya, apa falsafah hukumnya sehingga negara harus melarang warganya sendiri untuk membuat keputusan atas hidup dan pilihannya sendiri, sekalipun pilihannya itu akan cenderung mencelakai dirinya sendiri? Mengapa “judol” (jud! online) ataupun pinjol (p!njaman online) ataupun semacam “paylater”, sampai diwacanakan agar perlu dilarang-larang oleh pemerintah?

Brief Answer: Dalam hukum perdata, juga dijumpai doktrin yang bernama “cacat kehendak”. Manusia, memiliki kecenderungan untuk menyakiti dan melukai dirinya sendiri (untuk selengkapnya lihat “Anattalakhana Sutta”). JIka merujuk doktrin ilmu hukum tata negara, tipe “negara kemakmuran” tidak menjadikan peran sentral pemerintahan sebagai “anjing pengamat” (watch dog), namun senantiasa melakukan intervensi ke tengah masyarakat dengan memberikan rambu-rambu larangan dan kebolehan sebagai koridor ruang gerak bebasnya. Tanpa adanya norma hukum terkait “monopoli usaha”, maka hegemoni pelaku usaha kecenderungannya membentuk “monopoli maupun kartel harga”. Manusia tidak terlahir cerdas, kita hanya bisa menjadi cerdas bila belajar.

Manusia pun tidak terlahir dalam kondisi terampil secara sendirinya, kita hanya bisa menjadi terampil bila berlatih (practice makes perfect). Manusia tidak terlahir bersih murni, namun perlu berlatih mengikis “kekotoran batin yang bersarang dalam diri”. Sama halnya, manusia tidak terlahir dengan berpengetahuan, kita hanya bisa “penuh pengetahuan” bila rajin menggali ilmu pengetahuan sepanjang hayat hidup kita. Hidup adalah pilihan, namun ketika tingkat intelektual dan kebijaksanaan warganya masih rendah, maka “negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat”.

Bakat atau talenta, perlu diasah dan dikembangkan. Sifat-sifat baik yang belum ada, perlu ditumbuhkan serta dirawat. Sebaliknya, sifat-sifat buruk dan tercela, perlu dikendalikan. Sikap-sikap yang “cacat”, perlu dikenali dan diperbaiki. Bila belum memiliki motivasi, penting mencari mentor maupun “role model” yang ideal. Bukan soal apa saja dan sejauh apa yang dapat kita lakukan, namun apa yang harus dan tidak seharusnya kita lakukan. Sifat buruk dalam diri, bukan untuk dipelihara. Sifat baik dalam diri, adalah untuk ditumbuhkan dan dikembangkan.

PEMBAHASAN:

Yang paling berbahaya ialah ketika pihak pelaku usaha, akibat termakan oleh keserakahan pribadi sang pemilik usaha alias tidak terbiasa dan tidak terlatih dalam disiplin diri “self-control”, memanfaatkan dan mengeksploitasi sifat irasional masyarakat banyak, dan itulah yang tepatnya perlu dicegah untuk terjadinya oleh negara lewat pemerintah yang harus “hadir” (“present”, bukan “absent”). Mencelakai dan menjerumuskan diri sendiri, bukanlah “self determination”, itu merupakan manifestasi “kebodohan”. Seorang tokoh bernama John Stuart Mill dalam buku klasiknya berjudul “On Liberty”, pernah menuangkan gagasan berpikirnya dengan kutipan sebagai berikut:

“Di negeri ini dan di kebanyakan negeri yang berbudaya lainnya, misalnya, suatu kontrak yang membuat seseorang harus menjual diri untuk membiarkan dirinya dijual sebagai budak, harus dibatalkan dan tidak berlaku entah yang diperkuat oleh hukum entah oleh pendapat umum.

“Dasar untuk membatasi kebebasannya untuk dengan sukarela mengatur nasib hidupnya dengan cara seperti itu adalah jelas dan nampak sangat jelas dalam kasus ekstrem ini. Alasan untuk tidak campur tangan, kecuali untuk kepentingan orang lain, dalam perbuatan bebas seseorang adalah pertimbangan akan kebebasannya. Pilihannya yang bebas adalah bukti bahwa apa yang dipilihnya adalah sesuatu yang diinginkannya atau, paling tidak, sesuatu yang dapat diterimanya, dan kepentingannya pada umumnya terpelihara amat baik dengan membiarkan dia menggunakan harta kekayaannya sendiri untuk mewujudkannya.

“Tetapi dengan menjual diri sebagai seorang budak, dia melepaskan kebebasannya; dia sama sekali tidak mempergunakan kebebasannya pada waktu yang akan datang sesudah satu tindakan tunggal yang tadi itu terjadi. Dengan demikian dalam kasusnya sendiri, ia justru menggagalkan tujuan yang membenarkan mengapa dia boleh menentukan nasibnya sendiri. Dia tidak bebas lagi, tetapi sejak itu dia berada dalam suatu posisi yang tidak lagi mempunyai martabat yang kiranya diberikan oleh keberadaannya dengan sukarela dalam posisi itu.

“Prinsip kebebasan tidak dapat menuntut bahwa ia harus bebas untuk tidak bebas. Bukan kebebasanlah apabila orang dibiarkan untuk mengasingkan diri dari kebabasannya.

“Saya sudah mengamati bahwa, karena prinsip-prinsip umum yang diakui tidak ada, seringkali kebebasan diberikan padahal harus ditolak, dan ditolak padahal harus diberikan.”

Relevan dengan bahasan di atas, dalam pandangan Buddhisme seorang manusia tidaklah terlahir dalam kondisi menyerupai “kertas putih yang polos dan bersih”. Asumsi bahwa “manusia terlahir dalam kondisi seperti kertas putih yang polos dan murni” adalah sebuah delusi yang delusif, mengingat faktanya bila manusia tercemari sifat dan tabiatnya oleh keburukan karakter manusia lain yang “menular”, maka manusia buruk yang “menulari” tersebut mendapat tabiat buruknya dari siapa bila bukan dari manusia lain, dimana manusia lainnya tersebut mendapatkannya dari siapa? Senyatanya, sifat alamiah atau “by nature”-nya adalah menyerupai air, yakni selalu bergerak ke arah BAWAH, bukan ke arah atas. Karenanya, hanya dengan praktik latihan disiplin diri yang ketat berupa “mawas diri” (self-control) terhadap pikiran, ucapan, dan perilaku kita sendiri-lah, kita dapat memperbaiki diri kita.

Telah banyak bukti ilmiah dan kajian sosiologi, betapa manusia merupakan “makhluk IRASIONAL”. Banyak klise yang menyebutkan bahwa “manusia adalah makhluk yang rasional”, namun itu berangkat dari asumsi yang asumtif tanpa didasari bukti ilmiah ataupun bukti-bukti empirik apapun. Bisa dikatakan, Buddhisme merupakan sebuah “peta jalan” atau “roadmap” kurikulum pendidikan dan latihan diri menuju manusia yang “rasional” serta memurnikan pikiran agar memiliki pandangan yang jernih dan akal yang sehat—bukan “akal sakit milik orang sakit”—dimana Sang Buddha untuk itu telah bersabda dengan kutipan sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat usaha ini. Apakah empat ini? Usaha dengan mengendalikan, usaha dengan meninggalkan, usaha dengan mengembangkan, dan usaha dengan melindungi.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan mengendalikan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengendalikan.

(2) “Dan apakah usaha dengan meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan meninggalkan.

(3) “Dan apakah usaha dengan mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengembangkan.

(4) “Dan apakah usaha dengan melindungi? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidakmundurannya, meningkatkan, memperluas, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan melindungi.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS