(DROP DOWN MENU)

Selesai atau Tidak Selesainya Perbuatan Ilegal yang Dilandasi NIAT JAHAT / BURUK, Bukan menjadi Syarat Mutlak Penjatuhan Vonis Pemidanaan

Vonis Pidana Idealnya Berupa Penghukuman terhadap NIAT BURUK Sang Penjahat

Question: Semisal seseorang punya rencana melakukan korupsi atau kejahatan lainnya, apakah ada perbedaan konsekuensi yuridisnya bila sang pemilik niat jahat itu tertangkap oleh aparatur penegak hukum sebelum ia sempat berhasil selesai melakukan kejahatannya dan bila ia baru tertangkap setelah ia berhasil melakukan kejahatannya? Contohnya, apakah pemilik rumah harus menunggu terlebih dahulu agar si maling berhasil membobol gembok kunci pintu pagar rumah dan membawa lari barang dari dalam rumah, sebelum diringkus dan diamankan, atau sebaiknya dicegah agar sang maling tidak sampai berhasil masuk rumah agar hukumannya bisa optimal?

Brief Answer: Itu sama seperti pertanyaan apakah kita harus menunggu terlebih dahulu agar sang calon korban berhasil dibunuh oleh sang pelaku, sebelum kemudian aparatur penegak hukum mengamankan sang pelaku? Secara norma peraturan perundang-undangan dibidang hukum pidana, pidana terhadap perbuatan “percobaan” tetap dapat dihukum, meskipun dengan ancaman hukuman yang lebih rendah. Akan tetapi jika kita mencoba mengkajinya secara falsafah, semestinya tidak ada distingsi atau pembeda ancaman hukuman antara pelaku yang tertangkap saat baru akan melakukan rencana jahatnya, pelaku yang masih menjalankan kejahatannya namun belum tuntas sepenuhnya, maupun terhadap pelaku yang sudah selesai melakukan kejahatannya. Adapun penjelasan logisnya, ialah : apakah aparatur penegak hukum perlu menunggu, hingga sebagai contoh, kurir pengantar obat-obatan terlarang berhasil mengirim / mengantarkan paket-paket ilegal tersebut kepada penerimanya barulah kemudian diamankan petugas?

Yang perlu dipahami, tidak semua perkara, kondisi dan situasi atau konteksnya sesederhana itu. Semisal sang kurir saat di perjalanan darat, kendaraannya di-razia oleh petugas, dan petugas saat melakukan penggeledahan menemukan barang bukti berupa obat-obatan terlarang pada bagasi kendaaan milik sang pengendara, maka tidak lagi relevan apakah sang pelaku telah selesai menuntaskan “misi ilegal”-nya ataukah belum menyelesaikannya. Sepanjang dapat dibuktikan adanya “niat buruk” pelaku, dimana niat batin (mens rea) dapat disimpulkan dari perbuatan lahiriah (actus reus), maka sejatinya terhadap sang pelaku pelanggar hukum dapat dijerat dan divonis pemidanaan, sepanjang sudah ada “perbuatan permulaan”—terlepas dari wacana apakah delik yang dilanggar oleh sang pelaku merupakan “delik formal” ataukah “delik materiil”. Justru kita patut bersyukur, korban jiwa tidak sampai terjadi, dimana sang pelaku tidak juga perlu “bersyukur” karena dibekuk sebelum sempat menuntaskan kejahatannya.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, terdapat sebuah cerminan konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 614 K/Pid.Sus/2018 tanggal 28 Juni 2018, dimana Terdakwa diringkus bersama barang bukti berupa sebuah tas ransel yang di dalam tas tersebut berisi 10 (sepuluh) bungkus plastik alumunium dan 5 (lima) bungkus berlakban kuning yang di dalamnya berisi serbuk krisal bening berisi narkot!ka golongan I jenis shabu dengan total berat bruto ± 15.319. Yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut Umum:

1. Menyatakan Terdakwa Rizki Novrianto bin Anton Sudirman bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melakukan pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli, atau menerima Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram”;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana Mati.

Terhadap tuntutan Penuntut Umum, yang kemudian menjadi Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor 176/Pid.Sus/2017/PN.Sag tanggal 8 November 2017, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa Rizki Novrianto bin Anton Sudirman tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak melakukan permufakatan jahat menjadi perantara dalam menyerahkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram” sebagaimana dalam dakwaan Primair;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;”

Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat Nomor 138/PID.SUS/2017/PT.KALBAR tanggal 20 Desember 2017, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari Penuntut Umum;

- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Sanggau tanggal 8 November 2017, Nomor 176/Pid.Sus/2017/PN.Sag yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Rizki Novrianto bin Anton Sudirman tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Permufakatan jahat secara tanpa hak dan melawan hukum menerima Narkotika Golongan I yang beratnya 15.319 gram (15 kg lebih)”, sebagaimana dalam dakwaan Primair;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati;

3. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;”

Pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan hukum berupa dialektika / diskursus yang menarik untuk dicermati, sebelum tiba pada amar putusannya, sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

- Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana “Tanpa hak melakukan permufakatan jahat menjadi perantara dalam menyerahkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram” dan menjatuhkan pidana mati, sudah tepat dan benar tidak salah menerapkan hukum;

- Bahwa Judex Facti mempertimbangkan fakta hukum yang relevan dengan benar sebagaimana fakta hukum yang terungkap di muka sidang, yaitu:

- Bahwa Terdakwa bersama saksi Robiansyah dan Saiful ditangkap Polisi karena Terdakwa dan Robiansyah akan menerima tas ransel berisi 15 bungkus Narkotika dengan berat ± 15.319 (lima belas ribu tiga ratus sembilan belas) gram dari Saiful yang datang dari Entikong;

- Bahwa Terdakwa dan Robiansyah tahu bahwa barang yang akan diterima dari Saiful tersebut adalah Narkotika karena sudah diberitahu oleh yang menyuruh Terdakwa dan saksi Robiansyah untuk menerima barang dari Saiful dengan imbalan masing-masing Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dari Is bila Narkotika sudah diterima oleh Is;

- Bahwa Terdakwa dan Robiansyah sudah pernah menerima Narkotika atas suruhan Is dan sudah menerima upah masing-masing Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dari Is;

- Bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur pidana dalam Pasal 114 Ayat (2) juncto Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

- Bahwa demikian pula putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang memperbaiki pidana penjara yang dijatuhkan Judex Facti Pengadilan Negeri kepada Terdakwa menjadi pidana mati, tidak melampaui kewenangannya dan telah mempertimbangkan dengan cukup semua keadaan yang melingkupi perbuatan Terdakwa, baik keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang meringankan dan sifat perbuatan yang dilakukan Terdakwa;

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dan ternyata pula putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut dinyatakan ditolak;

“Menimbang bahwa telah terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam musyawarah Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Hakim Agung Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.Hum. dimuat sebagai berikut:

- Bahwa meskipun dalam sistem peradilan di Indonesia, penjatuhan pidana mati masih dianut, namun demikian penjatuhan pidana mati tersebut hendaknya diterapkan secara berhati-hati dan bersifat selektif dengan mempertimbangkan secara cermat tentang peran dan tingkat kesalahan Terdakwa dalam hal terjadinya tindak pidana tersebut;

- Bahwa dalam perkara a quo pelaku utama adalah Saipul yang meminta Robiansyah datang mengambil Narkotika jenis sabu di Daerah Simpang Ampar Sanggau, lalu Robiansyah mengajak Terdakwa untuk menemaninya mengambil Narkotika tersebut dengan janji diberi upah sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);

- Bahwa Terdakwa belum sempat menerima dan menikmati uang sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) tersebut karena Terdakwa terlebih dahulu telah ditangkap oleh Petugas BNN dan lagi pula selain itu perlu dipertimbangkan bahwa dalam perkara a quo Terdakwa masih relatif berusia muda 25 (dua puluh lima) tahun, sehingga bagi Terdakwa masih perlu diberi kesempatan untuk menebus dengan cara memperbaiki kesalahan masa lalunya;

- Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut adalah dipandang patut dan adil jika terhadap Terdakwa dijatuhi selama 20 (dua puluh) tahun;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari PEMOHON KASASI / TERDAKWA RIZKI NOVRIANTO bin ANTON SUDIRMAN tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.