(DROP DOWN MENU)

Perspektif Seorang PENDOSA Memakai Akal SAKIT Milik Orang SAKIT

Kabar Baik bagi Pendosa = Kabar Buruk bagi Para Korban

Pada tanggal 17 Desember 2024, terdapat seorang dosen Fakultas Hukum dari Universitas Islam Bandung yang menjadi narasumber pada Radio Elshinta, bernama Profesor Nanang. Secara sangat disayangkan karena sang profesor telah menyesatkan publik lewat opininya di radio yang menyatakan bahwa para kurir (perantara) obat-obatan terlarang patut dan layak diberi amnesti (dimaafkan dan dibebaskan) oleh negara dengan alasan klise : “butuh uang”, “kemiskinan”, “faktor ekonomi”. Itulah yang disebut opini yang bersifat bias, karena parsial, tanpa mau memahami “perspektif korban” yang selama ini menjadi korban-korban narkotika yang beredar di tengah masyarakat.

Ulasan ini sekaligus menjadi “somasi terbuka” bagi sang “profesor sesat” untuk mempertanggung-jawabkan opininya, mengingat pada praktik di lapangan para kurir obat-obatan terlarang tersebut tidak jarang membawa serta mengirim paket obat-obatan terlarang sejumlah berat kilogram bahkan mencapai belasan hingga puluhan kilogram maupun ribuan butir obat-obatan terlarang, dimana berpotensi mencelakai dan menjerumuskan begitu banyak anggota masyarakat secara masif. “Faktor kemiskinan” atau sejenisnya, bukanlah “alasan pembenar” maupun “alasan pemaaf”. Siapapun menghadapi kesulitannya sendiri, apapun profesinya, entah sebagai petani, pedagang, nelayan, penjahit, perajin, seniman, dan lain sebagainya. Faktanya, para perampok ataupun pencuri, sekalipun memiliki anggota tubuh yang lengkap dan masih muda dan sehat usianya, memilih untuk mengambil “jalan pintas” tanpa mau merepotkan diri bekerja mencari nafkah secara legal.

Faktanya pula, para kurir obat-obatan terlarang tidak jarang bersedia menjadi kurir obat-obatan terlarang, karena faktor keserakahan, mengingat upah kurir yang bersangkutan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Apakah sang kurir, yang mengorbankan dan mencelakai banyak anggota masyarakat, mau memikirkan, bagaimana para korbannya tersebut yang terjebak dalam kecanduan dan ketergantungan, memeroleh uang yang demikian besar untuk membeli zat beracun adiktif yang mahal harganya tersebut sehingga terjerat kemiskinan akut dan rusaknya rumah-tangga? Faktor ke-egois-an pribadi sebagai “niat batin” (mens rea), patut diganjar dengan hukuman seberat-beratnya. Alih-alih menjadi “keadaan yang meringankan kesalahan”, justru lebih layak dipandang sebagai “keadaan yang memberatkan kesalahan” sang pelaku (kurir / perantara).

Banyak orang terjebak dalam kemiskinan, namun tidak menjadikan itu sebagai “alasan pembenar” untuk merampas kebahagiaan hidup maupun hak-hak orang lain. Hanya demi “keegoisan pribadi” seorang kurir, akibatnya begitu banyak anggota masyarakat maupun anggota keluarganya yang menjadi korban, apakah layak dan patut? Sang kurir, sejatinya merupakan “sampah masyarakat” (toxic person), dimana dalam perspektif hukum disejajarkan kesalahan pidananya seorang bandar, dengan kualifikasi sebagai pelaku “turut serta” sebagai satu-kesatuan bernama “jaringan”. Sang bandar pun menjadi bandar karena faktor ekonomi, yakni ingin kaya raya dengan cara merampas kebahagiaan hidup banyak anggota masyarakat.

Maka, pertanyaan relevannya ialah, dimana letak perbedaaan antara sang kurir dan sang bandar, bila motifnya ialah serupa dan identik satu sama lainnya. itulah juga sebabnya, mengapa juru parkir bukanlah profesi yang tidak tercela secara moral, karena ingin “kaya raya” memakai “jalan pintas” dengan cara : tanpa modal, tanpa repot, tanpa pusing, tanpa mau menghadapi resiko usaha, memeras pengendara yang memarkirkan kendaraan sekalipun lahan parkir bukan milik sang juru parkir—disebut “memeras”, karena : jika tidak membayar sesuai permintaan sang juru parkir, apa konsekuensinya? Juru parkir liar patut dipunahkan dan dilarang, perihal “butuh kerja” bukanlah urusan masyarakat, karena siapa juga yang akan memusingkan “butuh kerja”-nya masyarakat pemilik kendaraan yang memarkirkan kendaraan? Maukah juga sang juru parkir memusingkan ekonomi sang pemilik kendaraan? Jangan keliru, tidak sedikit juru parkir dan pengemis yang bahkan lebih kaya-raya daripada para pemilik kendaraan maupun para penyumbang.

Satu-satunya perbedaan antara sang kurir dan sang bandar ialah, sang bandar yang memiliki obat-obatan terlarang senilai miliaran rupiah tersebut, sementara sang kurir tidak punya modal untuk membeli obat-obatan terlarang dari jaringan sindikat narkot!ka internasional, sehingga hanya dapat memeroleh “uang banyak” dengan cara menjadi kurir atau perantara. Begitupula tidak terkecuali para pengecer dan pengedar obat-obatan terlarang, demi alasan ekonomi, menjadi pengedar atau pengecer, dengan tiga alasan : Pertama, uangnya habis untuk membeli dan memakai obat-obatan terlarang. Kedua, mental dan fisiknya menjadi lemah akibat obat-obatan terlarang, sehingga menjelma “disable” (disabilitas) dimana tidak lagi mampu bekerja mencari nafkah secara normal, karenanya satu-satunya cara untuk tetap hidup dan tetap hidup sebagai pecandu, ialah dengan menjual obat-obatan terlarang secara eceran. Ketiga, tergiur oleh keuntungan dibalik praktik peredaran gelap obat-obatan terlarang. Fakta, mayoritas kalangan pengedar obat-obatan terlarang, merupakan seorang pemakai dan pecandu.

Salah kaprah lainnya ialah perihal status pemakai obat-obatan terlarang, apakah mereka adalah “korban” ataukah “pelaku”? Undang-Undang tentang Pemberatasan Narkot!ka telah melarang setiap kegiatan atau perbuatan yang berupa memiliki tanpa izin, menjual, maupun memakai. Karenanya, berdasarkan “asas legalitas”, setiap pelakunya tanpa terkecuali dikategorikan sebagai “pelaku” alias “pelanggar”, yang karenanya patut dan layak diberikan vonis penghukuman atas dasar alasan “YOU ASKED FOR IT” alias “minta dihukum”. Prevalensi peningkatan jumlah pemakai, bukanlah akibat bandar—mengingat obat-obatan terlarang mustahil dipromosikan lewat iklan pariwara komersial di tempat umum maupun di televisi—dimana pada praktiknya faktor lingkungan pergaulan yang berisi pemakai obat-obatan terlarang itu sendiri yang membuat rekan sebayanya turut mencoba dan pada muaranya turut terjerumus dalam jurang yang sama. Itulah alasan moral dibalik pemidanaan terhadap kalangan pemakai obat-obatan terlarang.

Kita ketahui bersama bahwa harga obat-obatan terlarang sangatlah tinggi, mendekati harga logam mulia. Bila masyarakat hanya membeli emas ataupun perhiasan setahun atau sepuluh tahun sekali, maka para pecandu tersebut membeli dan memakainya hampir setiap hari secara rutin dan tidak terputus, dimana organ otaknya telah rusak akibat racun obat-obatan terlarang, sehingga senantiasa “menagih”. Dapat kita bayangkan, betapa mahalnya harga yang harus dibayarkan dalam sebuah “gaya hidup” sebagai seorang pecandu. Hilangnya konsentrasi, hilangnya kesadaran, hilangnya sifat-sifat baik, hilangnya bagian otak penghasil hormon dopamin, hilangnya ketenangan hidup, hilangnya tabungan, hilangnya pekerjaan, pada gilirannya menggiring para pemakai dan pecandu tersebut menjelma kriminil sehingga antara laju prevalensi pemakai obat-obatan terlarang dapat berbanding lurus dengan naiknya tingkat kriminalitas di tengah masyarakat.

Kembali kepada pelaku “kurir”, perhatikan bahwa kesalahan pidana seorang bandar berikut sejatinya dapat pula diterapkan terhadap seorang “kurir”, sebagaimana tercermin dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 2629 K/PID.SUS/2015 tanggal 23 Februari 2016, dimana Terdakwa merupakan seorang warga negara Nigeria, yang menjadi pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung RI ialah sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

“Bahwa alasan kasasi Jaksa / Penuntut Umum dapat dibenarkan, Judex Facti Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum dalam hal memperbaiki putusan Judex Facti Pengadilan Negeri dengan mengurangi hukuman Terdakwa dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup;

“Bahwa sangat keliru Judex Facti / Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan Undang-Undang 1945, karena dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian konsekwensi setiap penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas harus berdasarkan hukum termasuk Undang-Undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah yang merupakan representasi dari kehendak rakyat Indonesia. Undang-Undang tentang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur tentang hukuman mati merupakan upaya untuk memberantas Narkotika yang semakin menjamur di Indonesia mengancam keselamatan bangsa dan negara;

“Bahwa Judex Facti / Pengadilan Tinggi terlihat hanya mempertimbangkan kepentingan Terdakwa semata, tidak mempertimbangkan akibat dari perbuatan Terdakwa mengorbankan masyarakat Indonesia yang menurut penelitian BNN tahun 2015 pengguna Narkotika telah mencapai 5.100.000 (lima juta seratus ribu) orang di Indonesia dan setiap hari lebih 60 (enam puluh) orang meninggal dunia dengan demikian dipandang tidak adil menjunjung tinggi hak terhadap Terdakwa disisi lain hak hidup korban akibat pengguna Narkotika dari perbuatan Terdakwa tidak diperhatikan; Di negara besar di dunia seperti halnya Amerika Serikat di beberapa negara bagian masih tetap menerapkan pidana mati;

“Bahwa alasan Judex Facti Pengadilan Tinggi mengurangi hukuman Terdakwa pada pokoknya adalah penjatuhan pidana mati harus dipertimbangkan secara saksama dan teliti karena berkaitan dengan nyawa seseorang, selain itu barang bukti yang menjadi pertimbangan berat ringannya pidana dalam perkara a quo jumlahnya hanya sebanyak 350 gram, jumlahnya jauh dari barang bukti pelaku tindak pidana Narkotika yang telah menjalani eksekusi;

“Bahwa alasan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Tinggi tersebut tidak beralasan sebab tidak mempertimbangkan secara lebih mendalam makna ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 197 Ayat (1) Huruf F KUHAP;

“Bahwa alasan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Tinggi mengenai jumlah barang bukti sebanyak 350 gram kurang tepat sebab Terdakwa sudah kali kedua melakukan tindak pidana Narkotika. Pada perkara yang pertama Terdakwa ditangkap dan dipersalahkan melakukan tindak pidana Narkotika dengan barang bukti 3 kg heroin;

“Bahwa Terdakwa yang sedang menjalani pidana penjara selama 20 tahun atas perkara yang pertama, ternyata sifat jahat Terdakwa belum kembali normal, Terdakwa belum sadar dan bertobat atas segala perbuatannya yang merugikan dan merusak jiwa dan raga manusia / pengguna secara massif. Bahkan Terdakwa tidak merasa bersalah dan menyesal dengan mengulangi lagi tindak pidana yang sejenis / sama;

“Bahwa penjatuhan pidana seumur hidup bagi Terdakwa tidak akan mengurangi niat atau sifat atau kelakuan jahat Terdakwa. Penjatuhan pidana seumur hidup bagi Terdakwa tidak ada jaminan bahwa Terdakwa tidak mengulangi perbuatannya;

“Bahwa salah satu cara untuk mencegah Terdakwa mengulangi perbuatan a quo adalah dengan menjatuhkan pidana mati bagi Terdakwa sehingga Terdakwa tidak lagi melakukan kegiatan peredaran gelap Narkotika;

“Bahwa keberadaan Terdakwa di Lembaga Pemasyarakat sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi orang di dalam LP maupun di luar LP hal ini dibuktikan Terdakwa dapat mengendalikan Narkotika di luar LP dengan menggunakan jaringan yang sudah dibangun Terdakwa sebelumnya;

“Bahwa alasan yuridis memperberat hukuman Terdakwa yaitu Terdakwa sudah dalam posisi sebagai residive melakukan tindak pidana;

“Bahwa selain alasan tersebut, Terdakwa adalah bagian dari sindikat peredaran gelap Narkotika dan mempunyai peranan yang signifikan, sehingga untuk mematahkan pergerakan Terdakwa dan jaringannya Terdakwa harus dijatuhi pidana mati;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Penuntut Umum dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 69/PID/2015/PT.BTN tanggal 24 Agustus 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG tanggal 1 April 2015, untuk kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

“Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;

Hal-hal yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas Narkotika;

- Perbuatan Terdakwa dapat mengakibatkan kerugian jiwa, raga dan harta benda bagi bangsa dan negara Indonesia termasuk masyarakat;

- Perbuatan Terdakwa merusak generasi muda dan bangsa Indonesia;

- Terdakwa sebagai otak / pengendali bisnis Narkotika dari balik Tahanan Lapas, dan Terdakwa sedang menjalani pidana di LAPAS;

- Motivasi Terdakwa untuk mendapat uang semata;

Hal-hal yang meringankan:

- Nihil;

“MENGADILI :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang tersebut;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 69/PID/2015/PT.BTN tanggal 24 Agustus 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG tanggal 1 April 2015 tersebut;

MENGADILI SENDIRI,

1. Menyatakan Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias NICK alias IKE CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Tanpa hak atau melawan hukum melakukan permufakatan jahat menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram dan Mentransfer atau menitipkan uang yang berasal dari tindak pidana Narkotika;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias NICK alias IKE CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON oleh karena itu dengan pidana MATI;

3. Menetapkan barang bukti berupa:

- 1 (satu) buah kotak kardus yang di dalamnya terdapat 1 (satu) buah pajangan kalender berbentuk mobil mainan yang pada bagian rodanya berisi : 1 (satu) bungkus plastik berisikan Kristal putih yang diduga Narkotika jenis Shabu dengan berat brutto 350 (tiga ratus lima puluh) gram;

Dipergunakan dalam perkara terpisah an. Terdakwa EMMY ROMAULI SILALAHI A.D HUMALA SILALAHI.”

Pandangan sang “profesor sesat” dari Universitas Islam Bandung demikian—Agama Islam mempromosikan “Penghapusan Dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa (Babi, haram. “Penghapusan Dosa”, halal)—bertolak-belakang dengan ajaran Sang Buddha dengan kutipan sebagai berikut:

Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

(3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

(3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia tidak kikir sehubungan dengan perolehan.

Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

Pendosa, hendak berceramah perihal hidup jujur, bersih, mulia, suci, luhur, dan agung? Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntut orang-orang buta lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga dan berbondong-bondong menuju jurang nista tersebut—sebagaimana ternyata dari ayat-ayat berikut:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.