Kaedah Preseden Bisa Berupa Amar Putusan dan/atau Pertimbangan Hukum Hakim Pemutus Perkara

Kaedah Preseden / Yurisprudensi Lebih Banyak Dibentuk Praktik Peradilan dalam Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan

Question: Ada dosen di fakultas hukum kami, ia justru mengkritik sarjana hukum yang mencari yurisprudensi dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan. Menurut dosen kami tersebut, preseden artinya ialah amar putusan hakim, bukan pertimbangan hukum hakim. Sebetulnya mana yang benar?

Brief Answer: Bila tidak ingin tertular sifat “dungu” sang dosen, maka tidak perlu mengikuti jejak maupun “didikan” sang dosen “dungu dan pemalas”. Dalam praktik litigasi di pengadilan, para litigator lebih banyak mengutip kaedah preseden / yurisprudensi berupa pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya. Amat sangat jarang kaedah preseden ditemukan dan ditarik dari amar putusan, terkecuali dalam kasus-kasus pidana terkait vonis hukuman pemidanaan yang menjadi sorotannya.

PEMBAHASAN:

Dalam praktik penuntutan perkara pidana, tidak jarang pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) merujuk “best practice” peradilan berupa kebiasaan-kebiasaan hakim pemutus perkara dalam menjatuhkan vonis pemidanaan atas perkara dengan karakter serupa—sebagai contoh ketika pihak JPU berupaya meyakinkan hakim agar bersedia menjatuhkan vonis sebagaimana tuntutan Penuntut Umum terhadap dakwaan “penggunaan surat palsu”, maka dapat saja dikutip preseden putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 512/Pid.B/2019/PN.MPW tanggal 3 Februari 2020—sebagaimana telah dikukuhkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 733 K/Pid/2020 tanggal 5 Agustus 2020—dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa H. MAT SAHIM/H. MAHMUDI bin MARHAWI alias Pak MUNADI tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan’, sebagaimana dakwaan alternatif Pertama Penuntut Umum;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;”

Berbekal norma preseden di atas, bilamana Pengadilan Negeri memutus kurang dari itu, maka pihak JPU dapat mengajukan upaya hukum agar Pengadilan Tinggi menambah berat vonis hukuman pihak Terdakwa. Akan tetapi dalam perkara-perkara perdata maupun pidana pada umumnya, untuk menentukan apakah pihak Tergugat maupun Terdakwa adalah bersalah dan patut dihukum atau tidaknya, penerapan atau penggunaan kaedah preseden lebih banyak dihimpun, dikutip, serta merujuk pada pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan yang dijadikan rujukan preseden.

Singkat kata, dalam preseden berupa amar putusan, itu merupakan sebentuk preseden “norma sekunder”. Adapun preseden-preseden terkait “norma primair”, terkandung dalam pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan pengadilan. Untuk memudahkan pemahaman, dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat preseden berupa putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana No. 1280 K/Pid/2017 tanggal 6 Desember 2017, dengan kasus posisi berawal antara Korban dan Terdakwa sudah saling mengenal dan mereka berdua berpacaran, pada bulan April 2016 Korban berniat ingin memiliki mobil untuk moda transportasi Korban berangkat kerja.

Korban meminta tolong pacar Korban, yaitu Terdakwa, untuk membantu mencarikan mobil yang sang Korban inginkan, saat itu Korban ingin membeli mobil jenis sedan Toyota Yaris dengan uang muka sebesar Rp35.000.000 dimana waktu itu uang secara tunai telah Korban serahkan pada Terdakwa sebesar Rp15.000.000 serta kemudian korban serahkan kartu ATM Bank milik Korban beserta Nomor PIN ATM dimaksud. Dari ATM tersebut, ditarik atau diambil uang sebesar Rp20.000.000 dengan cara ditarik tunai senilai Rp10.000.000 oleh Terdakwa, kemudian Rp10.000.000 lagi dicairkan, sehingga semua uang Korban yang diberikan pada Terdakwa berjumlah Rp35.000.000.

Setelah mobil Toyota Yaris dibeli oleh Terdakwa bersama bapaknya, saat itu mobil dikuasai dan dipakai oleh Terdakwa, bukan langsung diserahkan kepada Korban. Sejak awal sebelum dilakukan pembelian, Korban meminta agar nanti surat-surat pembelian dan surat-surat mobilnya dibuat atas nama Korban, ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa. Korban merasa tidak senang atas perbuatan Terdakwa, Korban sempat marah pada Terdakwa. Lalu mobil Toyota Yaris dijual oleh Terdakwa tanpa seijin Korban dan saat itu Korban meminta agar uang Korban sebesar Rp35.000.000 agar dikembalikan kepada Korban, namun Terdakwa tidak kooperatif dan justru merayu saksi korban untuk membeli mobil lagi agar dapat digunakan untuk mengajak Korban jalan-jalan.

Terdakwa membeli lagi mobil Toyota Vios tanpa persetujuan dari Korban, sehingga korban merasa telah dibohongi dimana uang Korban telah dipakai oleh Terdakwa, karena pembelian mobil tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Korban terbuai atas janji-janji Terdakwa kepada saksi korban, akibatnya menderita kerugian sebesar Rp35.000.000. Adapun terhadapnya, tuntutan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri, yakni:

1. Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Penggelapan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dengan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan.

Akan tetapi, selanjutnya yang menjadi putusan Pengadilan Negeri Arga Makmur Nomor 62/Pid.B/2017/PN.Agm tanggal 15 Juni 2017, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa tersebut di atas, terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan sebagaimana dakwaan Alternatif Kesatu tetapi bukan merupakan tindak pidana;

2. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Alternatif Kesatu;

3. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;”

Pihak JPU mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Bahwa Judex Facti Pengadilan Negeri tidak salah dalam menerapkan hukum, Judex Facti telah mengadili Terdakwa dalam perkara a quo sesuai hukum acara pidana yang berlaku serta tidak melampaui kewenangannya;

2. Bahwa menurut pendapat Penuntut Umum dalam tuntutannya Terdakwa telah terbukti melakukan penggelapan uang Korban Yeri Cahaya Pelita sejumlah Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) tetapi menurut Judex Facti Pengadilan Negeri perbuatan Terdakwa bukan merupakan tindak pidana tetapi seharusnya dapat diselesaikan melalui jalur perdata dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:

a. Bahwa Terdakwa dengan saksi korban berpacaran saling percaya bahkan sudah ada rencana untuk melangsungkan pernikahan, berkeinginan saksi korban untuk membeli mobil bersama Terdakwa dengan uang muka sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) pembelian sistem leasing;

b. Bahwa atas kesepakatan tersebut Terdakwa dan korban telah membeli mobil Toyota Yaris dengan perantaraan orang lain Saksi Hamdi bin Yanab karena baik orang tua Terdakwa maupun Terdakwa sendiri sudah kena blacklist pada lembaga leasing sedangkan bila langsung atas nama korban juga tidak bisa karena gaji / pendapatan korban tidak cukup untuk membayar angsuran bulanan;

c. Bahwa setelah diterima Toyota Yaris kemudian dijual oleh Terdakwa tanpa persetujuan korban, akan tetapi Terdakwa telah membeli penggantinya dengan mobil Toyota Vios yang disetujui oleh korban dibeli dengan sistem leasing, tidak lama setelah membeli mobil Vios terjadi konflik antara pihak Terdakwa dengan pihak korban mobil Vios tersebut dirusak oleh adik korban bernama Yoka yang selain merusak mobil Vios juga melakukan penganiayaan terhadap Terdakwa;

d. Bahwa mobil Vios angsuran tidak dibayar dan dalam keadaan rusak akhirnya ditarik kembali oleh lembaga leasing;

3. Bahwa dalam konflik antara Terdakwa dan korban dalam pembelian mobil tidak dapat dibuktikan dengan jelas oleh Penuntut Umum berapa uang korban dan berapa uang Terdakwa dalam membayar uang muka sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) menurut korban semuanya uang dari korban sedangkan menurut Terdakwa untuk uang muka mobil Yaris adalah uang Terdakwa dan uang korban sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan demikian penyelesaiannya dari peristiwa hukum dalam perkara a quo adalah perdata, karena atas pesetujuan bersama antara Terdakwa dan korban telah dibelikan mobil Yaris yang selanjutnya diganti dengan mobil Vios tidak ada uang yang digelapkan oleh Terdakwa;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bengkulu Utara tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS