“Akal KORUP milik orang KORUP” maupun “akal SAKIT milik orang SAKIT”, memiliki paradigma berpikir yang berbeda dengan “akal SEHAT milik orang SEHAT”.
Beredar pandangan berbagai kalangan, bahkan wacananya pernah dilontarkan oleh seseorang yang berkaliber sebagai Kepala Negara di Indonesia, bahwa kepada kalangan koruptor dihimbau untuk mengembalikan uang korupsinya secara “sopan dan santun” alias secara diam-diam (agar tidak ditangkap maupun dihukum), alih-alih hukum pemberantasan Tipikor (tindak pidana korupsi) ditegakkan setegak-tegaknya.
Kita tidak pernah kekurangan aparatur penegak hukum,
bahkan letak keberadaan teroris pun mampu dilacak secara mendetail, terlebih
urusan aliran dana berupa uang hasil korupsi—mengingat kita pun sudah memiliki
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi sudah tegas
mengatur, bahwa pengembalian uang hasil korupsi oleh pelaku, tidak menghapus
kesalahan pidana. Mengapa Kepala Negara justru mempromosikan sikap “TIDAK TAAT
HUKUM”?
mengapa sang Kepala Negara, seolah-olah hendak membangun
narasi bahwa pengembalian uang hasil korupsi, adalah sebentuk upaya
“RESTORATIVE JUSTICE”?
Mari kita simak dasar hukum “keadilan restotatif” yang
berlaku di Indonesia:
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PEDOMAN MENGADILI PERKARA PIDANA
BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:
1. Keadilan
Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang
dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban,
terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan
proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
Pasal 2
Hakim mengadili perkara pidana dengan Keadilan Restoratif
dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pemulihan
keadaan;
b. penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan Korban;
c. tanggung jawab Terdakwa;
d. pidana sebagai upaya terakhir;
Pasal 6
(1) Hakim
menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini:
a. tindak
pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban
bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum
provinsi setempat;
b. tindak
pidana merupakan delik aduan;
c. tindak
pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu
dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
d. tindak
pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
e. tindak
pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.
(2) Hakim
tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif dalam hal:
a. Korban
atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian;
b. terdapat
Relasi Kuasa; atau
c. Terdakwa
mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak
Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Tampak seakan peraturan di atas, menutup celah bagi
KORUPTOR untuk lolos dari jerat hukum bila korupsinya tidak mencapai miliaran
rupiah. Namun, fakta realita praktik di peradilan, pernah terjadi dimana pelaku
yang melakukan pencurian dan penadahan terhadap barang milik korban, saat
dikemudian hari berhasil dilacak dan diamankan oleh pihak petugas, para
pelakunya seketika itu juga mengembalikan kerugian korban seharga barang yang
dahulu pernah ia curi dan tadah.
Alhasil, vonis hakim pada Pengadilan Negeri ialah
membebaskan Terdakwa dengan alasan “RESTORATIVE JUSTICE”.
Dengan kata lain, peraturan tersebut justru melahirkan
bibit-bibit “KORUPTOR-KORUPTOR”—saat kini masih berupa bibit-bibit “KORUPTOR
kelas teri”, dimana kejahatannya ditolerir sehingga kemudian menjelma “KORUPTOR
kelas kakap” dikemudian hari bilamana mereka menemukan kesempatan untuk
korupsi.
Secara falsafah pemidanaan yang benar-benar menjerakan,
pemidanaan seharusnya dijatuhkan terhadap “niat jahat” yang telah pernah
dieksekusi oleh sang pelaku. Sehingga, bilamana sekalipun saat tertangkap
dikemudian hari pelakunya mengembalikan barang ataupun uang hasil kejahatannya,
maka itu bukanlah alasan untuk menghapus “kesalahan pidana”.
Bila tidak dimaknai demikian, maka kriminalitas akan
menyerupai “ISENG-ISENG BERHADIAH”—pencuri yang bila tertangkap, maka tidak
perlu membayar ganti-rugi apapun, dimana bila tertangkap maka semudah mengembalikan
barang curiannya. Penganiaya yang sanggup secara ekonomi untuk membiayai
pengobatan korbannya, maka dapat menikmati “RESTOTIVE JUSTICE”.
Perhatikan kembali peraturan dimaksud:
Pasal 6
(1) Hakim
menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini:
a. tindak
pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban
bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau
tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
c. tindak
pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu
dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
d. ...; atau
ada frasa “ATAU”, sehingga sekalipun kerugian korban
(keuangan negara alias uang milik rakyat) atau gratifikasi yang diterima
mencapai miliaran rupiah, akan tetapi ancaman pidana dalam Tipikor semisal
maksimal hanya 5 tahun, maka koruptor menjadi niscaya menikmati “RESTORATIVE
JUSTICE”.
Sama ironisnya, ketika terdapat kalangan Sarjana Hukum
yang menyatakan kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan yang merugikan
perekonomian negara, dinilai bukan sebagai kerugian konkret, namun hanya “potential loss”, dengan alasan bahwa
nilai kerugiannya dinilai dari proyeksi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah
untuk memulihkan kerusakan alam dimana upaya pemulihan lingkungan belum
dilakukan oleh pemerintah.
Itu pandangan yang ironis bila tidak dapat disebut
“menyesatkan”. Kerusakan alamnya adalah nyata dan real alias aktual terjadi di
lapangan, sehingga bukan lagi “POTENSI kerugian”.
Bilamana ahli membuat perhitungan biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah untuk memperbaiki kerusakan alam, maka itu hanyalah
konversi dari kerusakan alam yang telah terjadi ke dalam mata uang berupa
nominal untuk memudahkan penghukuman “uang pengganti”.
Itu menyerupai “eksekusi riil” dalam dunia praktik peradilan.
Semisal Tergugat yang kalah dihukum untuk menyerahkan kendaraan yang ia kuasai,
namun tidak diindahkan. Maka, pengadilan dalam mengeksekusi putusan dapat saja
mengeksekusi harta Tergugat dalam wujud lainnya, salah satunya melelang
aset-aset Tergugat dimana uang hasil penjualan lelang akan diserahkan kepada
pihak Penggugat selaku pemohon eksekusi putusan.
©
Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan
menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.